Kamis, 15 Januari 2009

Tasyri' di Masa Rasulullah

A. Pendahuluan
Sebelum agama Islam datang, keadaan bangsa Arab ketika itu sangatah jahil. Sampai-sampai mereka disebut kaum jahiliyyah atau kaum bodoh. Jahil di sini bukan dalam segi intelektual tapi dari segi akhlaq. Karena memang tingkah laku mereka yang amoral, seperti anak perempuan di kubur hidup-hidup karena mereka menganggap perempuan merupakan sesuatu hal yang naïf ataupun hina. Kemudian mereka membuat berhala sendiri yang akhirnya berhala tersebut mereka anggap Tuhan bagi mereka. Selain itu, belum adanya perundang-undangan yang mengatur kehidupan mereka. Keadaan mereka hampir sama dengan keadaan masyarakat Yunani sekitar abad ke V SM, yang pada awalnya masih belum mengenal filsafat, mereka hanya mempercayai hal-hal yang berbau mitos saja.

Memang sebelum agama Islam telah ada agama-agama lain yang mengajarkan bagaimana cara hidup yang baik tapi masih belum sempurna. Seperti kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Daud as., yaitu Kitab Zabur yang isinya hanya berupa nasehat-nasehat saja. Kemudian Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yang isinya sudah ada tentang syariat. Dan yang ketiga kitab Allah berupa Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., yang isinya hampir sama dengan kitab suci Taurat akan tetapi kitab injil ini sudah dimodifikasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mereka sebut dengan perjanjian baru. Baru pada malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW turunlah wahyu terakhir yaitu Al-Qur’an yang mana Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya, yang sebagian isinya ada tentang yuridis yang dapat membimbing umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dengan kekhasanaan.
Nah, dari hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah yang di bahas di dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW?
2. Apa Saja Sumber Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW?
B. Pembahasan
Di dalam periode Rasulullah SAW, tasyri’ dibagi menjadi dua periode yaitu: tasyri’ pada periode Makkah dan tasyri’ pada periode Madinah.
Tasyri’ Pada Periode Makkah
Tasyri’ pada periode ini bertujuan kepada penyebaran ketauhidan, karena memang keadaan masyarakat yang masih jahiliyyah, masih menyembah patung yang mereka buat sendiri. Selain itu umat Islam ketika itu memang jumlahnya hanya segelintir orang.
Adapun ayat-ayat yang turun pada periode ini tidak bersifat amali melainkan menjurus kepada pemeliharaan aqidah dan moral, penolakan terhadap kesyirikan, serta sedikit sekali yang membahas masalah ibadah.
Penyampaian Al-qur’an pada periode ini memakan waktu selama 13 tahun yaitu dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai dengan awal bulan Robbi’ul Awwal tahun 54 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat Al-Qur’an pada masa ini disebut dengan Makkiyah. Secara global ayat-ayat Makkiyah pendek-pendek.
Tasyri’ Pada Periode Madinah
Semenjak hijrah Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah selama kurang lebih 10 tahun perkembangan umat Islam sangatlah pesat sehingga perlunya dibuat tasyri’ yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Semacam tasyri’ dalam beribadah, bermu’amalah, jihad, pidana, waris, perkawinan, thalaq, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup dalam ilmu fikih.
Kekuasaan hukum pada masa ini hanya disandarkan kepada Baginda Rasulullah SAW semata dengan pegangan wahyu dari Allah SWT yaitu Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Oleh karena itu pada periode ini umat Islam telah menjadi umat yang tangguh dalam segala hal terutama dalam tatanan kehidupannya yang penuh dengan syaria’t Islam. Tak lepas dari itu pula selain al-Qur’an dan Hadits bahwa diakui juga Rasulullah dan para sahabat telah berijtihad dalam sebagian hukum. Diantaranya: ketika dalam perang tabuk Nabi mengizinkan orang-orang yang udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang. (Lihat ayat 42-43 surat at-Taubah).
Ayat-ayat Al-Qur’an pada masa ini biasa disebut dengan ayat-ayat Madaniyah. Secara global ayat-ayat Madaniyah panjang-panjang, lalu di awal ayatnya kebanyakan diawali dengan kalimat “Yaa ayyuhalladzina aamanuu” (Wahai orang-orang yang beriman) dan yang diawali dengan kalimat “Yaa ayyuhaa an-naasu” (Wahai Manusia) di dalam ayat-ayat Madaniyah seperti di dalam surat: Al-Baqoroh 21, 168. An-Nisa’ 170, 174. Al-Hajj 1 dan Al-Hujurat 13.
Sumber-sumber Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW
Perundang-undangan pada periode Rasulullah SAW mempunyai empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah suatu kitab yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui Malaikat Jibril secara berangsur-angsur sejak malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Beliau.
Secara terminologi, Al-Qur’an diartikan sebagai berikut:
a. Qarana artinya menggabungkan
Maksudnya, surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushhaf.
b. Al-Qor’u artinya himpunan
Maksudnya, menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.
c. Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan, ini pendapat yang paling kuat.
Secara istilah, banyak yang mengartikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maksudnya pedoman bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia ini menuju dunia yang lebih abadi yaitu dunia Akhirat. Selain itu, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadian atau peristiwa, sebagai penjelas terhadap hukum yang dihadapi atau sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW dan ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan tanpa didahului oleh peristiwa ataupun permintaan fatwa.
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, dinukil secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.
Oleh karena itu, Al-Qur’an dijadikan sumber utama dalam periode ini. Apabila timbul sesuatu yang menghendaki peraturan seperti perselisihan, peistiwa hukum, pertanyaan atau permintaan fatwa, Allah langsung menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya satu atau beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki, kemudian Rasulullah langsung menyampaikannya kepada kaum muslimin dan seterusnya dijadikan hukum yang patut diikuti.
Al-Qur’an mengatur tiga urusan:
I. Sesuatu yang berhubungan dengan iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya dan hari akhir. Ini semua termasuk dalam pembahasan Ilmu Kalam atau Ushuluddin. Sebagai contoh: Kewajiban mengenal Allah dan mengesakan-Nya terdapat pada surat: Al-Baqoroh; 164, Al-Anam; 1, 14, 75, 76, 77, 78, 95, 97, 99. Dan banyak lagi.
II. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hati serta dorongan kepada akhlaq yang baik. Ini termasuk dalam pembahasan materi ilmu akhlaq. Sebagai contoh: Menghormati guru terdapat dalam surat: Al-Kahfi, 73, 75-78.
III. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan anggota badan yakni perintah-perintah, larangan-larangan. Ini termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih. Sebagai contoh: Mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya terdapat dalam surat: Al-Baqoroh: 63, 67. Al-Imron; 32, 132. Dan lain-lain.

Al-Qur’an terdiri atas 30 juz, 114 surat, dan sekitar 6.000 ayat. Sedangkan ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution (1985;8) berkesimpulan bahwa dari 368 ayat hukum ini, hanya 228 ayat atau 3,5% yang berkenaan dengan kemasyarakatan.
Hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu: ibadah dan muamalah. Yang termasuk dalam cakupan ibadah adalah: shalat, zakat, haji, dan puasa. Adapun muamalah adalah hukum yang bertujuan membangun keselarasan hubungan manusia dengan manusia.
Dalam pandangan Abd-al-Wahhab Khallaf dan Kamil Musa cakupan muamalah adalah sebagai berikut:
a) Hukum Keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah), adalah hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam keluarga.
b) Hukum kebendaan (ahkam madaniyyah), adalah hukum yang mengatur tukar menukar harta.
c) Hukum Jinayah (ahkam jinayah), adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukallaf.
d) Lembaga Peradilan (ahkam murafa’at), adalah hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi dan sumpah.
e) Hukum Dusturi (al-ahkam al-dusturiyyah), adalah hukum yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
f) Hukum Negara (al-ahkam al-dauliyah), adalah hukum yang mengatur hubungan kenegaraan; hubungan antarnegara (regional dan internasional).
g) Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtishodiyyah), adalah hukum yang berhubungan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok.


2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an di dalam periode ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 65:
Artinya:”Maka demi Tuahnmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
As-Sunnah merupakan penjelasan dari Al-Qur’an yang mana hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an belum jelas maka sunnah-lah yang menjadi penjelasnya. Selain itu, sunnah juga sebagai kunci untuk membuka Al-Qur’an yang dapat memberi petunjuk untuk mengungkap hakikat Al-Qur’an dan mendalaminya secara mendetail.
Pengertian As-Sunnah yang paling tepat dari segi klasifikasi hadits dan sejarahnya adalah: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir)”.
Dari segi bentuknya, hadits Nabi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: perkataan, perbuatan dan ketetapan atau taqrir. Di bawah ini akan diberikan contoh dari setiap bentuk hadits.
· Contoh hadits yang berupa perkataan: hadits riwayat Muslim yang diriwayatkan Qutaibah Ibnu Sa’id, Laits, Ibnu Rumh, al-Laits, Ibnu Syihab, Abd Allah ibn Abd Allah ibn Umar, Abd Allah ibn Umar dari Rasulullah SAW. Sambil berdiri di mimbar, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kamu hendak shalat Jum’at, hendaklah mandi”
· Contoh hadits yang berupa perbuatan: hadits dhoif menurut Bukhori yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, dari Aisyah r.a.,: “Sesungguhnya Nabi SAW mencium salah seorang istrinya kemudian keluar dan melakukan shalat tanpa berwudhu lagi.”
· Contoh hadits yang berupa taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat pada zaman Nabi dan Nabi tidak melarangnya dan tidak pula melakukannya. Diantaranya adalah hadits riwayat Abu Daud-Shahih menurut Al-Daruquthni dari Anas ibn Malik r.a.,: “Sahabat Nabi SAW pada zaman Nabi SAW menunggu datangnya waktu shalat isya’ hingga ngantuk (kepalanya tertunduk), kemudian mereka shalat dan berwudhu terlebih dahulu.”

3. Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan ijtihad Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, menurut kaum Asy’ariyah dan kaum Mu’tazilah Nabi Muhammad tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya yang berhubungan dengan amaliyah tentang halal dan haram. Akan tetapi menurut ulama ushul semacam Syafi’i dan Abu Yusuf Al-Hanafi membolehkan hal tersebut.
Sebagian ulama ushul ini mengatakan bahwa ijtihad Nabi Muhammad SAW itu tidak berhubungan dengan ibadah akan tetapi hanya dalam berperang. Al-Qadli Iyadi dalam kitab As-Syifa’ berpendapat bahwa Nabi SAW berijtihad tentang masalah duniawi. Contohnya: strategi perang yang dikemukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam perang Khandaq, yang mana strategi ini ditolak oleh kaum Anshar.
Ada beberapa contoh ijtihad Nabi Muhammad SAW yang dikemukan oleh Abd Al-Jalil Isa yaitu:
a) Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi Muhammad SAW menjawab: “Mereka diperlakukan seperti bapak-bapaknya”.
b) Qiblat umat Islam sebelum oleh Allah SWT adalah Bait Al-Maqdis. Umat Islam shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis selama 16-17 bulan. Shalat ke Bait Al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad SAW.
c) Abdullah ibn Ubai (tokoh munafiq) datang kepada Nabi dan meminta beliau beristighfar untuknya. Kemudian Nabi Muhammad SAW memohon kepada Allah SWT agar Abdullah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi SAW memohon kepada Allah SWT agar Abdullah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah SWT berfirman: “Kamu memohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafiq) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja)”. QS. At-Taubah; 80.
Dari beberapa contoh di atas. Para ulama berbeda pendapat. Menurut As-Syafiyyah Nabi Muhammad SAW tidak salah dalam ijtihadnya. Sedangkan Al-Jubai dan Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW bisa salah dalam berijtihad tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau sahabat.
Di antara hikmah ijtihad Rasulullah adalah:
a) Ijtihad Rasul sangat diperlukan untuk memperoleh penjelasan atau keputusan hukum mengenai suatu peristiwa dengan segera terhadap suatu hukum yang tidak ada dalam wahyu Allah.
b) Ijtihad adalah perbuatan manusia, dengan berijtihad akan menunjukkan kepada umat bahwa Rasul adalah manusia juga seperti manusia lainnya. Hanya saja tatkala ijtihad yang dilakukan oleh Rasul melenceng atau keliru maka kekeliruan tersebut langsung ditegur oleh Allah kemudian dibenarkan.
4. Ijtihad Sahabat
Selain ijtihad Nabi Muhammad SAW, ijtihad para sahabat juga menjadi landasan hukum selain Al-Qur’an dan As-Sunnah pada periode Rasulullah. Dari segi cara ijtihad diartikan sebagai metode penggalian hukum Islam. Sedangkan dari segi hasil ijtihad termasuk sumber hukum Islam.
Di antara sahabat yang melakukan ijtihad adalah Ali ibn Abi Thalib yang di utus Rasulullah SAW ke Yaman sebagai qodhi atau hakim. Selain itu, Muadz ibn Jabal juga di utus oleh Rasulullah di negeri Yaman sebagai pengajar.
Di antara ijtihad para sahabat yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW yaitu: ketika Rasul bertanya kepada Muadz ibn Jabal: “apa yang kamu perbuat apabila kamu dihadapkan pada suatu persoalan, sedangkan kamu tidak menemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah?” Muadz ibn Jabal menjawab: “Aku akan berijtihad dengan akal pikiranku”. Kemudian Rasulullah menjawab: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq.”
Selain itu, pada suatu ketika ada dua orang sahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudhu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air. Seseorang sahabat berwudhu dan shalat kembali sedangkan sahabat yang satu lagi tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah dan menceritakan pengalamannya tersebut. Kepada yang tidak berwudhu dan tidak mengulangi shalat, Nabi Muhammad SAW bersabda; “ Ashabta al-Sunnah” (Engkau mengerjakan pekerjaan sesuai dengan Sunnah). Sedangkan kepada sahabat yang berwudhu dan mengulangi shalat, Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Al-Ajra Marratain” (Engkau mendapatkan pahala dua kali).
Dari contoh ijtihad sahabat di atas, bahwa Rasulullah pun bermufakat apabila ijtihad yang dilakukan sahabat dapat dijadikan landasan hukum Islam, selama hal yang mereka ijtihad-kan itu memang tidak ditemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tasyri’ di masa Rasulullah SAW mengalami dua kali periode yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
2. Dengan Tasyri’ kehidupan akan tertata dengan indah.
3. Sumber Tasyri’ di masa Rasulullah ada empat yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijtihad Rasul dan Ijtihad Sahabat.
DAFTAR PUSTAKA

Dja’far, Muhammadiyah. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Ilmu
Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Roibin. 2007. Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah. Malang.
Zuhri, Muhammad. Tarjamah Al-Tasyri’ Al-Islam. Indonesia: Darul Ikhya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar