Selasa, 11 Mei 2010

Tantangan dan Peluang Lulusan Pendidikan Agama Islam di Masa Depan

Oleh: Arbain Nurdin
Pendahuluan

Sebagai Seorang sarjana atau ahli pendidikan Islam serta kader pemimpin Islam yang beriman sempurna, berakhlaq mulia, dan berwawasan luas. Tentu harus memerankan diri pada kehidupan masyarakat sebagai kader yang berguna serta bermanfaat atas apa yang telah didapatkan selama menempuh proses pembelajaran baik formal maupun non-formal.
Oleh karena itu, selain memiliki cita-cita dan komitmen untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam sebagaimana secara terpadu dan serempak juga memiliki pandangan faham keagamaan yang pluralis inklusif, yaitu suatu faham keagamaan yang meyakini kebenaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh namun pada saat yang bersamaan ia juga mengakui eksistensinya keberadaan agama lain, disertai dengan sikap tidak merasa bahwa agamanya-lah yang paling benar, sedangkan agama lain tersesat. Jadi dapat dibenarkan bahwa faham tersebut dapat diterima dikalangan masyarakat secara umum seperti masyarakat Indonesia yang multikultural, sehingga dapat terwujud satu kesatuan tanpa memojokkan suku. Agama ataupun budaya lain. Inilah konsep bhineka tunggal ika.
Namun di era globalisasi ini, para sarjana Pendidikan Islam sedikit banyak mendapatkan tantangan serta peluang. Hal ini karena arus globalisasi baik pada aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain yang secara signifikan berpengaruh terhadap agama Islam secara umum serta pendidikan Islam secara khusus.
Sebagai contoh pasca terjadi peladakan bom di gedung WTC Amerika Serikat oleh sekelompok teroris yang dikaitkan dengan pemimpin al-Qaidah serta pimpinan Jama’ah Islamiyah (JI) yaitu Usamah bin Laden, walaupun hingga sekarang pemimpin tersebut belum ditemukan keberadaannya (ditangkap). Maka agama Islam ketika itu hingga sekarang diidentikkan dengan aksi terorisme oleh umat non-muslim, padahal hal itu sangat bertentangan dengan ajaran suci agama Islam yang mengajarkan kasih sayang yaitu sebagai agama rahmatan lil’alamin.
Kemudian, aksi terorisme berlanjut di negeri ini seperti: tragedi bom Bali I dan II, hotel JW Marriot I, II dan banyak lagi. Dan semua aksi tersebut dilakukan oleh umat Islam yang diprakarsai (alm.) Dr. Azhari dan sekutu-kutunya.

Tantangan

Pendidikan Islam yang memperioritaskan ilmu pengetahuan yang dipelajari dapat mempertebal keimanan karena selalu berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, akan tetapi akibat beberapa problematika yang terjadi di masyarakat yang hal itu membawa simbol-simbol serta ajaran agama Islam seperti aksi terorisme tadi dapat menjadi tantangan yang sangat berat bukan hanya bagi para pemuka agama Islam (ulama) tapi juga bagi para sarjana pendidikan Islam. Karena merekonstruksi persepsi umat non-muslim terhadap agama Islam seperti awal lahirnya Islam sangat sulit dan penuh tantangan.
Secara khusus tantangan berikutnya adalah kemajemukan yang ada pada masyarakat Indonesia baik pada aspek budaya, agama, sosial masyarakat. Pada sisi budaya sangat memberikan efek yang sangat kuat dalam mengajarkan pendidikan Islam, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Islam hal itu tidak menjamin bagi para sarjana untuk mudah menananmkan nilai-nilai pendidikan agama Islam secara kaffah dan murni sesuai ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, baik di lingkungan keluarga, sekolah apalagi masyarakat yang notabene lebih luas.
Seperti budaya sebagian masyarakat Jawa yang selalu mengangggap bahwa benda-benda tertentu semacam kris atau benda lain memiliki kharismatik atau keajaiban yang dapat memberikan ketentaraman dan keselamatan kepada pemiliknya. Budaya semacam ini tidak dapat dipungkiri karena memang Islam masuk ke Negeri ini paling akhir dengan kata lain memang Islam merupakan agama penyempurna serta agama yang meluruskan agama lain tanpa adanya kekerasan. Hal semacam ini yang memberikan tantangan serta tuntutan bagi sarjana pendidikan Islam untuk mengishlahkan tanpa menghilangkan budaya tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Rizal (2004) bahwa Preoritas kegiatan pendidikan Islam harus diarahkan pada empat hal, sebagai berikut : Pertama, pendidikan Islam bukahlah hanya untuk mewariskan faham atau pola keagamaan hasil internalisasi generasi terhdap anak didik. Kedua, pendidikan hendaknya menghindari kebiasaan menggunakan andai-andaian model yang di idealisir yang sering kali membuat kali kita terjebak dalam romantisme yang berlebihan. Ketiga, bahan-bahan pengajaran agama hendaknya selalu dapat mengintegrasikan problematik empirik disekitarnya. Keempat, perlunya dikembangkan wawasan emansipatoris dalam proses mengajar agama sehingga anak didik cukup memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam rangka memiliki kemampuan metodologis untuk mempelajari materi atau substansi agama.

Peluang

Berdasarkan beberapa tantangan yang terus dihadapi oleh sarjana pendidikan agama Islam, yang semakin hari semakin berkembang maka, tantangan tersebut dapat memberikan peluang serta motivasi tersendiri bagi sarjana, karena banyak efek dari globalisasi di berbagai bidang memberikan peluang.
Seperti pada aspek ekonomi. Secara umum perekonomian negara-negara Islam terbelakang namun sistem perekonomian yang dibangun berlandaskan syari’ah Islam dapat memberikan sumbangsih serta dapat bejalan secara stabil sehingga mempengaruhi pemikiran para pakar ekomoni barat tentang sistem yang diterapkan di negara-negara non-Islam yaitu sistem ekonomi kapitalis yang hingga sekarang mengalami krisis. Oleh karena itu, para sarjana mendapatkan angin segar atau referensi terkait sistem perekonomian bahwasanya agama Islam telah mengajarkan sistem ekonomi yang dinamis tanpa ada kecurangan serta keriba’an.
Pada aspek politik, peluang sarjana pendidikan Islam begitu besar karena beberapa kebijakan pemerintah Indonesia mendukung serta memberikan keluasan terhadap pengajaran agama Islam baik dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kebijakan dan regulasi seperti ini dapat membangkitkan peluang para sarjana bahwa pendidikan Islam sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas pendudukanya memeluk agama Islam.
Selain peluang-peluang tersebut, para sarjana juga harus memiliki keterampilan dan keahlian, sebagaimana kompetensi yang mesti dimiliki oleh guru dan dosen yang mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan kompetensi profesional. Keterampilan dan keahlian tersebut seperti:

1. Kemampuan menulis.
2. Kemampuan berpikir kreatif.
3. Kemampuan berkomunikasi secara efektif.
4. Kemampuan menggunakan komputer
5. Kemampuan memanfaatkan teknologi informasi.
6. Kemampuan membuat keputusan.
7. Kemampuan bekerja sama dalam tim.

Beberapa kemampuan di atas dapat memberikan jalan bagi para sarjana untuk bersaing dan merekonstruksi pendidikan agama Islam yang sekarang terpuruk akibat banyaknya tantangan yang mengemuka pasca globalisasi.

Kesimpulan

Tantangan janganlah dijadikan rintangan tapi dijadikan sebgai bahan untuk membuka peluang. Walaupun para sarjana pendidikan agama Islam banyak dikucilkan karena tidak mengikuti zaman akibat materi yang dipelajari hanya bersifat akhirat atau abstrak belaka, tapi semua itu perlu diluruskan bahwa ajaran/pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan kehidupan akhirat tapi juga kehidupan dunia. Jadi, kekontekstualan pendidikan Islam perlu diajarkan oleh para sarjana pendidikan Islam supaya dapat diterima oleh masyarakat muslim di Indonesia yang multikultural. Semoga..

Read More......