Kamis, 15 Januari 2009

Ibnu Rusyd


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Akal merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki manusia, sehingga dengan akal tersebut manusia dapat menjadi beradab maupun sebaliknya, tergantung pribadi masing-masing. Dapat dilihat bahwa dahulu para ilmuwan seperti: Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali dan lain-lain, telah menggunakan akal tersebut sesuai dengan fungsinya sehingga munncul-lah konsep pengetahuan yang akhirnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
Selain beberapa ilmuwan di atas, ada salah seorang filosof muslim yang telah mengintegrasikan antara wahyu dan akal, sehingga di dalam perjalanan kehidupannya ia banyak menghabiskan hanya untuk menelaah serta meniliti para pemikir sebelumnya, di antaranya adalah Aristoteles dan Al-Ghazali, dimana dari dua pemikir ini ia dapat memberikan satu konsep pengetahuan bahwa wahyu dan akal dapat dikombinasikan. Selain menelaah, beliau juga mengkritik beberapa pemikir sebelumnya, diantaranya: Ibnu Sina dan Al-Farabi. Beliau adalah Ibnu Rusyd.

Sebagian umat muslim belum banyak mengenal begitu jauh siapa filosof Ibnu Rusdy tersebut, dimana pemikirannya telah tersebar luas sampai di benua Eropa sana. Selain itu, Ibnu Rusyd juga-lah yang mempelopori timbulnya renaisans di Eropa. Banyak konsep pengetahuan yang beliau lahirkan sehingga tidak pantas bagi kita (umat muslim) untuk tidak mengenal sang filosof muslim ini.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan sedikit dipaparkan identitas serta pemikiran sang filosof muslim yang telah merekonsiliasi antara wahyu dan akal. Dan juga kritikan beliau kepada Imam Al-ghazali yang telah mengkafirkan para filosof serta Emanasionisme Filosof Muslim.


1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Ibnu Rusyd?
2. Apa Saja Karya-karya Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana Hukum Mempelajari Filsafat Menurut Ibnu Rusyd?
4. Bagaimana Filsafat Ibnu Rusyd?
5. Bagaimana Kritik Ibnu Rusdy Terhadap Emanasionisme Filosof Muslim?
6. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa?

1.3 Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan masalahnya adalah:
1. Mendeskripsikan Riwayat hidup Ibnu Rusyd
2. Mendeskripsikan karya-karya Ibnu Rusyd
3. Mendeskripsikan Hukum Filsafat Menurut Ibnu Rusyd
4. Mendeskripsikan filsafat Ibnu Rusyd
5. Mendeskripsikan kritik Ibnu Rusyd terhadap emanasionisme filosof muslim
6. Mendeskripsikan Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 M/510 H. Beliau adalah ahli falsafah yang paling agung yang dilahirkan dalam sejarah Islam, pengaruhnya bukan saja di dunia Islam akan tetapi di masyarakat Eropa juga, dan beliau lebih dikenal di sana dengan sebutan Averroes.
Ibnu Rusyd merupakan keturunan dari golongan orang yang berilmu dan ternama, Bapak dan Kakek beliau adalah seorang hakim di Cordova. Dan menurut Ibnu Abrar: “Sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.” oleh karena itu, beliau pernah belajar dengan Ibnu Zuhr yang akhirnya guru tersebut menjadi teman karib beliau. Dari Ibnu Zuhr, beliau belajar banyak tentang ilmu fiqih dan hal-hal yang menyangkut tentang obat-obatan. Selain itu, beliau juga akrab dengan kerajaan Islam Muwahhidin. Oleh karena keakraban itu pula beliau diangkat menjadi hakim di Sevilla sekitar tahun 1169 M. Dua tahun setelah itu beliau dilantik menjadi hakim pula tepatnya di kota kelahiran beliau yaitu Cordova. Pada tahun 1182 M beliau dilantik menjadi doktor di istana, akan tetapi beberapa tahun setelah beliau menjabat menjadi doktor istana tepatnya pada tahun 1195 M banyak pihak ataupun golongan yang iri atas prestasi yang Ibnu Rusyd raih serta mereka menganggap beliau adalah seorang mulhid dan seorang yang kafir. Oleh karena itu beliau diasingkan atau dibuang ke daerah lucena, dekat Cordova.
Setelah masa pembuangannya telah habis, tepatnya pada tahun 1197 M Ibnu Rusyd kembali ke Cordova lagi. Akan tetapi, tatkala beliau tiba tak ada sambutan dari masyarakat melainkan cemoohan dan beliau pun tersisihkan.
Di akhir hayat beliau Khalifah Al-Mansor al-Muwahhidin merasa telah berbuat salah terhadap Ibnu Rusyd sehingga beliau diasingkan serta dipinggirkan dari masyarakat. Oleh karena itu, sang khalifah memberikan penghormatan kembali kepada Ibnu Rusyd, akan tetapi penghormatan tersebut tak ada artinya disebabkan ajal telah menjemput beliau yaitu pada tanggal 10 Desember 1198 M (72 th.)/9 Shafar 595 H (75 th.).

2.2 Karya-karya
Ibnu Rusyd tidak meninggalkan barang atau harta benda apapun melainkan ilmu serta tulisan dalam pelbagai bidang seperti: filsafat, kedokteran, ilmu kalam, ilmu falak, fiqih, musik, tata bahasa (nahwu). Akan tetapi sangat disayangkan karya-karya beliau sangat sulit ditemukan dan apabila ada karya tersebut tidak lagi orisinil dengan kata lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Di antara karya-karya beliau adalah:
1. Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, kitab ini berisi tentang korelasi antara ilmu filsafat dengan agama.
2. Al-Kasyf an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millat, kitab ini berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3. Tahafut at-Tahafut, kitab ini berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, kitab ini berisikan penjelasan tentang ilmu fiqih.
5. Kuliyyah fi at-Thibbi (16 jilid), kitab ini berisikan tentang hal-hal kedokteran/perobatan.
6. Mabadi al-Falsafah, kitab ini berisikan tentang awal mula ilmu filsafat.
7. Tafsir Urjuza, yang berisikan tentang kedokteran serta ketauhidan.
8. Taslul, berisikan tentang pengetahuan ilmu kalam.
9. Kasful Adilah, yang berisikan tentang filsafat dan agama.
10. De Anima Aristoteles, kitab ini berisikan tentang pelbagai hal yang berkaitan dengan musik.

2.3 Hukum Mempelajari Filsafat
Menurut Ibnu Rusyd, hukum mempelajari filsafat adalah wajib dengan kata lain dianjurkan oleh agama. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan hujjah beliau baik melalui sudut akal serta nash agama. Dari sudut akal beliau mengatakan bahwa dengan berfilsafat atau mempelajari segala apa yang ada di alam ini tentunya dapat diketahui segalanya ada yang menciptakan. Adapun dari segi nash agama, Ibnu Rusyd memberikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang berkaitan dengan penggunaan akal pikiran, diantaranya:
öqs9 $uZø9t“Rr& #x‹»yd tb#uäöà)ø9$# 4’n?tã 9@t6y_ ¼çmtF÷ƒr&t©9 $Yèϱ»yz %YæÏd‰|ÁtF•B ô`ÏiB ÏpuŠô±yz «!$# 4 šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $pkæ5ÎŽôØtR Ĩ$¨Z=Ï9 óOßg¯=yès9 šcr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ ’Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ ωs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Äd“r'Î7sù ¤]ƒÏ‰tn ¼çny‰÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ
“ Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?” (QS. Al-A’raf: 185)
šÏ9ºx‹x.ur ü“̍çR zOŠÏdºtö/Î) |Nqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur tbqä3u‹Ï9ur z`ÏB tûüÏYÏ%qßJø9$# ÇÐÎÈ
“Dan Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.” (QS. Al-An’am: 75)



2.4 Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Dalam memahami pemikiran Aristoteles beliau tidak langsung membaca karyanya yang berbahasa Yunani akan tetapi dengan bantuan buku-buku terjemahan dan ulasan-ulasan para ahli seperti: Hunain bin Ishaq, Yahya ibn Ady dan Abu Basyar.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd juga memikir, membahas dan memahami pemikiran para filosof sebelumnya dan juga tak segan-segan beliau memberikan kritikan serta bantahan apabila ada pembahasan yang tidak beliau setujui. Di bawah ini akan dijelaskan sedikit tentang filsafat Ibnu Rusyd:
a) Metode Pembuktian Kebenaran
Ada tiga macam metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran (Tashdiq), yaitu:
a. Metode Retorika (al-khatabiyyah), metode ini diperuntukkan bagi manusia awam.
b. Metode Dialektik (al-jadaliyah), metode ini diperuntukkan bagi manusia awam.
c. Metode Demonstratif (al-burhaniyyah), metode ini diperuntukkan kepada kelompok kecil manusia.
Dalam konteks syari’at, metode-metode terbagi kepada empat macam kategori:
a. Metode bersifat umum sekaligus bersifat khusus (metode yaqini/dipastikan kebenarannya). Kesimpulannya diambil dari sendiri bukan dari perumpamaan. Metode ini tidak membutuhkan takwil atau interpretasi lagi.
b. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur (benar karena dukungan pendapat umum) atau madhmum (benar karena dugaan umum) namun kebenarannya mencapai tingkat pasti. Kesimpulannya diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang menjadi tujuannya. Sehingga penafsiran di dalam metode dapat dilakukan.
c. Metode yang kesimpulannya berupa obyek-obyek yang hendak disimpulkan itu sendiri, sedangkan premis-premisnya bersifat masyhur atau madhmum. Kesimpulannya tidak membutuhkan takwil sekalipun di dalam premis-premisnya seringkali terjadi pentakwilan.
d. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur atau madhmum tanpa adanya kemungkinan untuk mencapai tingkat kebenaran. Kesimpulannya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang dituju. Metode ini bagi orang awam harus diartikan sesuai lahiriyahnya.
b) Metafisika
Masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama. Sifat positif yang diberikan kepada Allah adalah “Akal” dan “Maqqul” wujud Allah adalah Esa-Nya. Konsepsi ini tidak lepas dari pengaruh para filosof sebelumnya.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, Ibnu Rusyd sangat tidak sependapat dengan para aliran-aliran semacam Mu’tazilah, Asy’ariyah, Shufiah dan lain sebagainya. Oleh karena itu beliau memberikan alasan ketidaksependapatannya dengan aliran-aliran tersebut dengan dalil-dalil yang menyakinkan, diantaranya:
a. Dalil Inayah al-Ilahiyah (Pemeliharan Tuhan).
óOs9r& È@yèøgwU uÚö‘F{$# #Y‰»ygÏB ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ
“Bukankah Kami menjadikan bumi ini sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’: 6-7)
b. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan).
$yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó™$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããô‰s? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs† $\/$t/èŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o„ Ü>$t/—%!$# $\«ø‹x© žw çnrä‹É)ZtFó¡o„ çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$# Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu sembah selain Allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat-pun. Kendati pun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah”
(QS. Al-Hajj: 73)
c. Dalil Harkah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yaitu Tuhan.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibnu Rusyd lebih dekat kepada paham Mu’tazilah. Dalam hal ini beliau menggunakan prinsip-prinsip tasybih dan tanzih (penyamaan dan penyucian) yaitu pertama dengan menetapkan beberapa sifat positif kepada Allah. Kedua dengan, mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya, seperti sifat ‘ilm. Hal ini sebagaimana firman Allah:
¼çny‰YÏãur ßxÏ?$xÿtB É=ø‹tóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB †Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%u‘ur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym ’Îû ÏM»yJè=àß ÇÚö‘F{$# Ÿwur 5=ôÛu‘ Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) ’Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7•B ÇÎÒÈ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An’am: 59)
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿw $oYÏ?ù's? èptã$¡¡9$# ( ö@è% 4’n?t/ ’În1u‘ur öNà6¨ZtÏ?ù'tGs9 ÉOÎ=»tã É=ø‹tóø9$# ( Ÿw Ü>â“÷ètƒ çm÷Ztã ãA$s)÷WÏB ;o§‘sŒ ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# Ÿwur ’Îû ÇÚö‘F{$# Iwur ãtóô¹r& `ÏB šÏ9ºsŒ Iwur çŽt9ò2r& žwÎ) ’Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7•B
“Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS. Saba’: 3)
Mengenai hubungan zat dengan sifat Allah, Ibnu Rusyd memahami sifat Allah sebagai ‘itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu bagi orang awam cukup diajarkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disyara’kan.
c) Moral
Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Agama dengan akhlak secara praktis dan filsafat secara teoritisnya, oleh karena itu diperlukan relasi dengan akal aktif.
d) Kritikan Terhadap Al-Ghazali
Pemikiran Ibnu Rusyd mulai mencuat tatkala ia menanggapi karya Al-Ghazali Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat) yang kata-kata atau kalimat, yang disampaikan al-Ghazali di dalam buku tersebut tidak menyakinkan serta tidak dapat memberikan pemahaman secara murni tentang filsafat itu sendiri. Kemudian pemikiran tersebut beliau tuangkan langsung dalam sebuah karya yang berjudul Tahafut at-Tahafut (kerancuan dari kerancuan). Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pembicaraaan al-Ghazali terhadap pemikiran filosof-filosof itu tidak pantas karena dua hal: Pertama, sebenarnya beliau memahami pemikiran-pemikiran para filosof tersebut, akan tetapi tidak disebutkan secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk Kedua, beliau membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, ini termasuk perbuatan orang-orang bodoh.
Adapun tiga butir yang dianggap al-Ghazali para filosof salah dalam pemikirannya dan beliau mengatakan mereka (para filosof) adalah kafir. Tiga butir tersebut adalah: Kadimnya alam, Allah tidak mengetahui rincian di alam dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Dan dari pernyataan al-Ghazali tersebut maka Ibnu Rusyd langsung menanggapinya. Tanggapan beliau sebagai berikut:
1. Alam Itu Kadim
Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof muslim salah mengartikan bahwa alam itu kadim yang diciptakan dari sesuatu (materi) yang ada, padahal alam diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada. Dari pandangan al-Ghazali ini-lah Ibnu Rusyd langsung memberikan tanggapan bahwa apa yang diungkapkan al-Ghazali keliru karena tidak ada seorang pun dari filosof muslim yang menyatakan bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Dan mustahil atau nihil apabila sesuatu itu ada dari yang tidak ada. Kemudian Ibnu Rusyd memberikan beberapa dalil dari ayat suci al-Qur’an sebagai bukti bahwa tatkala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu yang lain. Ayat tersebut yaitu:
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u‘ $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)
uqèdur “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur ’Îû Ïp­GÅ™ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã ’n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3•ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã ... ÇÐÈ
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya….” (QS. Hud: 7)
§NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }‘Édur ×b%s{ߊ ...
“Kemudian, Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap…”
(QS. Fushilat: 11)
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa alam ini diciptakan setelah adanya sesuatu yang lain yakni: al-maau (air) dan ad-dukhon (uap).
2. Allah Tidak Mengetahui Rincian di Alam
Al-Ghazali menuduh bahwa para filosof muslim mengatakan Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Tuduhan ini sangat tidak benar, karena menurut Ibnu Rusyd maksud dari filosof muslim tersebut adalah pengetahuan Allah tentang parsial di alam ini berbeda dengan pengetahuan manusia, dimana pengetahuan Allah itu bersifat kadim, maksudnya pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu atau pengetahuan-Nya semenjak azali dan tidak bersifat kulliyah atau juziyyah. Sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu.
3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat Tidak Ada
Menurut Ibnu Rusyd, sanggahan al-Ghazali kepada para filosof muslim tentang kebangkitan jasmani di akhirat kelak tidak ada adalah tidak benar. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam penafsiran tentang ajaran dasar dalam Islam bukan perbedaan dalam pro ataupun kontra terhadap ajaran dasar agama Islam. Dengan kata lain, mereka berbeda dalam berijtihad, dan perbedaan ini diperbolehkan dalam ajaran agama Islam karena sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang benar dalam berijtihad di bidangnya maka ia mendapatkan dua pahala sedangkan apabila salah maka ia mendapatkan satu pahala.”
Selain tiga perkara di atas, Ibnu Rusyd juga membantah pemikiran al-Ghazali tentang hubungan atau hukum sebab akibat (kausalitas) serta kaitannya dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat Nabi.
a) Menurut Ibnu Rusyd, antara hubungan sebab dan akibat terdapat hubungan keniscayaaan atau hubungan yang dharury (pasti), dimana sebab sangat berpengaruh terhadap lahirnya suatu akibat. Pandangan ini bertolak belakang dengan pendapat para mutakalimin termasuk al-Ghazali yang mengingkari adanya sebab dan dapat mempengaruhi lahirnya suatu akibat. Kemudian Ibnu Rusyd menambahkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu (sifat zatiyah), maksudnya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada kekuatan yang telah ada sebelumnya.
b) Ibnu Rusyd mempertanyakan ulang pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa hubungan sebab akibat sebagai adat atau kebiasaan. Dan adat seperti apa yang dimaksud disini apakah adat fa’il (Allah), atau adat mawjud atau adat bagi kita dalam menentukan sifat. Karena ketidakjelasan tersebut maka Ibnu Rusyd membantah pendapat al-Ghazali, dengan mengatakan apabila adat tersebut diartikan sebagai fa’il maka ia bertentangan dengan firman Allah:
sp¨Zß™ `tB ô‰s% $uZù=y™ö‘r& šn=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß™•‘ ( Ÿwur ߉ÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xƒÈqøtrB ÇÐÐÈ
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu.” (QS. Al-Isra’: 77)
Apabila diartikan sebagai mawjud maka ia bukan adat namanya akan tetapi tabiat. Sedangkan apabila diartikan sebagai adat bagi kita dalam menentukan sifat, maka hubungan (nisbat) antara mawjud dan fa’il tidak ada.
c) Hubungan sebab akibat tidak didasari atas akal sehat. Statement yang disampaikan al-Ghazali ini sangat tidak benar, menurut Ibnu Rusyd dengan pengetahuan akal sehat itulah maka segala yang ada (mawjud) beserta sebab akibatnya dapat diketahui. Setelah itu akan diketahui pula hikmah yang terkandung di dalamnya dan semua ini atas pertimbangan akal. Akan tetapi Ibnu Rusyd berpendapat mengapa al-Ghazali berstatement seperti itu karena beliau khawatir akan membatasi kehendak Allah serta memberikan kekuasaan kepada Alam dan kekhawatiran tersebut dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan mengatakan bahwa sunnatullah merupakan suatu keniscayaan yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah atas kehendak-Nya.
d) Al-Ghazali mengatakan apabila orang mempercayai akan adanya hubungan antara sebab akibat maka mereka telah mengkhianati adanya mukjizat Nabi. Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh Ibnu Rusyd dengan memberikan pernyataan bahwa mukjizat nabi itu dibagi menjadi dua: Pertama, mukjizat al-Barraniy yaitu mukjizat yang tidak sesuai dengan risalah kenabian. Kedua, mukjizat al-Jawwaniy yaitu mukjizat yang sesuai dengan risalah kenabian, seperti Al-Qur’an. Dari pembagian mukjizat nabi ini Ibnu Rusyd menentang pemahaman al-Ghazali di atas. Dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mukjizat al-Barraniy itu dapat ditakwilkan dan boleh jadi mukjizat ini dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang, karena memang merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan.
e) Kerasulan Nabi
Para ahli kalam membuktikan kerasulan itu dengan qiyas atau perumpamaan yaitu apabila seseorang berkehendak maka ia dapat melakukan sesuatu dan apabila Tuhan beriradah maka Tuhan dapat mengutus Rasul-rasul-Nya. Selain itu golongan Asy’ariyah menambahkan bahwa orang yang mengaku menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan bukti bahwa ia benar-benar seorang utusan, bukti tersebut biasa disebut Mu’jizat. Akan tetapi dengan metode qiyas seperti ini hanya akan membawa kepada kesimpulan yang kurang memuaskan dengan kata lain tak dapat dijadikan qiyas burhani (qiyas yang menyakinkan).
Dari ketidakpuasan inilah Ibnu Rusyd berpandangan bahwa pembuktian dengan qiyas di atas dapat diterima oleh kaum awam atau kebanyakan orang, tapi bagi kaum yang lain pembuktian tersebut masih mengandung kelemahan. Di antaranya: dari mana kita mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku Nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Untuk membuktikan kerasulan Nabi, Ibnu Rusyd memberikan ceritera tentang kerasulan Nabi Muhammad, dimana tatkala kaum Quraisy meminta tanda-tanda kerasulan Beliau, maka Nabi diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:
ö@è% tb$ysö7ß™ ’În1u‘ ö@yd àMZä. žwÎ) #ZŽ|³o0 Zwqß™§‘ ÇÒÌÈ
“Katakan Maha Suci Allah, Aku ini tidak lain hanyalah manusia yang menjadi rasul” (QS. Al-Isra’: 93)
Dari kisah ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang menyimpang dari hukum alam adalah semata-mata kehendak Allah SWT.
Selain itu, Ibnu Rusyd juga mengatakan apabila mu’jizat tidak dapat dijadikan batu sandaran sebagai seorang rasul, maka cara yang kedua yaitu dengan membaca dan memahami al-Qur’an dengan sungguh-sungguh sehingga akan dapat dibuktikan kerasulan seseorang.
f) Akal dan Jiwa
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi karena bentuk materi bisa ada hanya di dalam materi. Oleh karena itu akal yang merupakan sarana dalam mendapatkan pengetahuan dan jiwa yang merupakan bentuk materi yang tak dapat dipisahkan dengan materi itu sendiri.
Dari pandangan Ibnu Rusyd di atas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dan hewan sangat berbeda. Apabila hewan dengan imajiasi atau perasaannya ia dapat mengetahui sesuatu, lain lagi manusia, dengan menggunakan akal ataupun perasaan pengetahuan dapat dicerna. Selain itu, pengetahuan manusia yang bersifat sementara tidak dapat disamakan dengan pengetahuan Tuhan yang luar biasa serta abadi.

2.5 Kritik Ibnu Rusdy Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd tidak sepakat dengan para Filosof Muslim tentang emanasionisme, dengan kata lain menolak tentang hal itu. Ada beberapa kelemahan serta pertentangan di dalam emanasionisme ini dan membuat Ibnu Rusdy mengeluarkan kritikan serta alasan tentang hal ini. Kritikan tersebut adalah:
1. Para filosof Muslim mengatakan bahwa “al-fa’il al-awwal (Pencipta pertama) hanya memancar satu.” Pendapat ini bertentangan dengan pendapat mereka sendiri yang mengatakan bahwa “yang memancar dari yang satu pertama terdapat pada-nya yang banyak.” Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pendapat ini dapat diterima apabila dikatakan yang banyak terdapat pada akibat pertama (al-maf’ul al-awwal). Dengan ini maka keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali kepada yang satu.
2. Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa prinsip-prinsip (al-mabadi’) yang memancar dari prinsip yang lain itu, maksudnya bahwa prinsip-prinsip tersebut memiliki maqamat tertentu dari prinsip pertama. Sehingga antara fa’il, maf’ul dan makhluq memiliki hubungan di antaranya.

2.6 Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Pokok pemikiran Ibnu Rusyd adalah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal). Dengan ini, ada dua bentuk pendekatan yang digunakan oleh Ibnu Rusyd untuk merealisasikan pemikirannya di atas (Alwi Shihab, 1988:4), yaitu: Pertama, dimulai dengan meneliti filsafat kemudian diakhiri dengan penjelasan tentang agama. Pendekatan ini ada pada bukunya Fashl al-Maqal. Kedua, dimulai dengan mengkaji serta menjabarkan ajaran agama lalu merekonsiliasi dengan hasil penelitian filsafat terhadap alam. Pendekatan ini ada pada buku al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqaid al-Millat.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran Ibnu Rusyd:
1. Frederick II sebagai pencinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
2. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd dalam bahasa-bahasa Latin dan Ibrani.
3. Pada abad ke-16 karya-karya Ibnu Rusyd kembali diterjemahkan karena sebagian pengkaji filsafat berpandangan bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles sebaiknya membaca karya Ibnu Rusyd.
Dari penerjemahan serta penerbitan karya Ibnu Rusyd inilah, maka pemikiran beliau tersebar di Eropa. Penyebaran pemikiran beliau tidak serta merta tersebar secara langsung akan tetapi masih melalui murid-murid beliau dari Eropa yang belajar di Spanyol. Mereka dikenal dengan sebutan Averroisme.
Pada akhir abad ke-12 sampai akhir abad ke-16 Averroisme menjadi aliran pemikiran yang dominan, sehingga menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh agama (Gerajawan) yang ortodoks. Misalnya, mereka mengancam para pemikir Averroisme dengan pembunuhan dan penjara. Sehingga banyak dari ilmuwan yang menjadi korban, seperti: Galileo, Copernicus dll. Akan tetapi usaha tersebut tetap tidak dapat menghentikan mereka untuk menyebarkan pemikirannya sehingga timbullah renaisans di Eropa yang kemudian membuat eropa berkembang serta maju dalam peradaban.
Awalnya dari perbedaan agama maka pemikiran Averroisme ini tidak dapat disamakan dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Oleh karena itu, timbullah beberapa penyimpangan misalnya, pemikiran filsafat mungkin bertentangan dengan kebenaran agama tetapi keduanya harus diterima. Selain itu mereka juga mengatakan kebenaran ganda maksudnya kebenaran yang dibawa agama adalah benar, sedangkan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar. Padahal Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kebenaran hanya satu maksudnya kebenaran yang dibawa agama tidak akan bertentangan dengan kebenaran filsafat, jika terdapat pertentangan maka dapat dilakukan pentakwilan (Takwil).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ibnu Rusyd merupakan sosok seorang filosof dan sufi yang sejati. Karena dengan pemikirannya yang merekonsiliasi antara wahyu dan akal.
2. Dengan berfilsafat seseorang tidak dapat dikatakan kafir sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali karena memang akal diciptakan untuk difungsikan sebagaimana mestinya yaitu untuk berpikir, terutama kepada segala sesuatu yang ada di alam ini.
3. Untuk mendapatkan suatu keyakinan dengan kata lain keimanan, tidak hanya dengan menggunakan wahyu akan tetapi dengan akal juga dapat membantu.

DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, A. 2007. “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Hasyimsyah. 1999. “Filsafat Islam”. Jakarta: PT. Gaya Media Pratama
Zar, Sirajuddin. 2007. “Filsafat Islam (Filosof & Filsafatnya)”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar