Kamis, 15 Januari 2009

Pernikahan Adat Palembang


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Palembang merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang memiliki beranekaragam kebudayaan, baik yang bersifat kesenian, tari-tarian, maupun lagu daerah yang biasa dikenal dengan “lagu batang ari”. Selain itu, ada pula kebudayaan masyarakat Palembang yang berkaitan dengan upacara pernikahan, dimana di dalamnya banyak memiliki karakteristik sehingga kebudayaan tersebut menjadi ciri khas tersendiri baik di kalangan masyarakat Palembang maupun masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, kebudayaan yang ada di kota Palembang ini, sedikit banyak di pengaruhi oleh agama-agama seperti Budha, Hindu dan juga pengaruh dari suku bangsa semacam Cina, Jawa serta Arab. Sehingga kebudayaan tersebut semisal yang tertera di atas sedikit demi sedikit mulai pudar, dengan enggannya masyarakat untuk melakukannya. Dengan kata lain, kebudayaan tersebut sudah tak layak dilaksanakan seiring perkembangan zaman yang begitu cepat.
Di antara kebudayaan di kota Palembang yang masih dilakukan oleh masyarakatnya adalah upacara pernikahan adat Palembang. Dimana kebudayaan ini sedikit berbeda dengan kebudayaan yang lain yang ada di kota Palembang karena memiliki beberapa tahapan dalam prosesinya serta membutuhkan sedikit banyak tenaga serta dana.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini sedikit banyak akan dipaparkan tentang kebudayaan yang satu ini serta pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya ialah:
1. Bagaimana proses upacara pernikahan adat Palembang?
2. Apa saja kebutuhan yang diperlukan di dalam proses upacara pernikahan adat Palembang?


1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan proses upacara pernikahan adat Palembang.
2. Mendeskripsikan kebutuhan yang diperlukan di dalam proses upacara pernikahan adat Palembang.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Upacara Pernikahan Adat Palembang
Setiap acara upara pernikahan pasti melalui beberapa tahapan yang harus dilaksankan mulai sebelum acara sampai selesai. Begitu pula proses upacara pernikahan adat Palembang meliputi beberapa tata cara atau tahapan yang harus dilakukan sebelum maupun sesudah akad nikah dilaksanakan.
Adapun tata cara atau tahapan sebelum akad maupun resepsi pernikahan dilangsungkan ialah:
1. Milih Calon
Pada tahapan ini, si anak akan mengajukan calon yang akan ia nikahi. Dengan kata lain, anak dapat memberikan calon-calon yang ia kehendaki beserta identitas calon tersebut baik dari silsilah keluarga maupun yang lainnya.
Akan tetapi, apabila si anak belum bisa mengajukan calon yang ia kehendaki untuk dinikahi maka orang tua yang akan mengambil alih dengan mengirimkan delegasi atau orang yang dapat dipercayai serta memiliki pengalaman dalam hal ini.
2. Madik
Tahapan berikutnya adalah madik. Istilah madik itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti mendekat atau pendekatan atau penyelidikan. Jelasnya madik adalah proses penyelidikan calon (gadis) yang akan dinikahi si anak (bujang). Tujuan dari prosesi ini adalah agar si orang tua anak dapat mengetahui secara jelas siapa calon yang akan dinikahi anaknya nanti, baik itu dari silsilah maupun pengetahuan apakah si gadis sudah dipinang orang lain dan sebagainya.
3. Menyengguk
Setelah delegasi yang dikirim oleh orang tua si anak menyampaikan hasil penyelidikannya kepada si gadis, maka berikutnya dilakukan tahapan menyengguk, dimana kata menyengguk itu sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya “Memasang Pagar”. Maksudnya, agar si gadis yang diinginkan untuk dinikahi oleh si anak tidak diganggu serta diambil oleh bujang yang lain.
Tahapan ini dilakukan dengan diawali orang tua anak mengirimkan delegasi kembali kepada keluarga si gadis untuk menanyakan beberapa pertanyaan dengan tidak lupa membawa tenong. Di antara pertanyaan tersebut yaitu:
a) “Apa kiranya anak gadis ibu di sini sudah dipinang orang atau belum dipinang?’ apabila jawaban si ibu belum, maka pertanyaan berikutnya adalah:
b) “Maukah ibu menerima, kalau sekiranya ada orang yang akan datang meminang anak gadis ibu?”
4. Ngebet
Apabila proses menyengguk berhasil, maka tiga hari kemudian aka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu ngebet atau dengan istilah sekarang ngelamar. Tahapan ini ditandai dengan diutus kembali delegasi dari keluarga si anak kepada keluarga si gadis untuk mengikat antara bujang dan gadis tersebut, dalam istilah orang Palembang disebut “Nemuke Kato”. Dan utusan kali ini akan membawa gegawan dan tiga tenong yang akan diberikan kepada keluarga si gadis. Khusus kain, bahan busana ataupun barang berharga seperti cincin atau gelang akan diberikan kepada si gadis.
5. Berasan
Proses berasan ini akan dilaksanakan apabila keluarga si anak telah menyepakati atau telah menyetujui si gadis untuk menjadi menantunya atas informasi yang telah disampaikan oleh para delegasi tadi. Kata berasan ini berasal dari bahasa Melayu yang artinya bermusyawarah, maksudnya bermusyawarah untuk menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga.
Di dalam proses berasan ini si gadis akan diperkenalkan kepada keluarga si anak sehingga tak jarang sering terdengar pantun atau kata basa-basi di dalamnya. Selain itu, akan diputuskan beberapa hal yang berkaitan dengan persyaratan perkawinan baik dari segi adat maupun agama Islam.
6. Mutuske Kato
Tahapan Mutuske Kato ini akan dilaksanakan tatkala proses berasan telah disepakati dari kedua belah pihak atau keluarga. Dalam tahapan ini akan diputuskan atau disepakati beberapa hal yang berkaitan dengan: Ngantarke Belanjo, Hari Pernikahan, Munggah, Nyemputi dan Nganter Penganten, Ngalie Turon, Becacap atau Mandi Simburan dan Beratib. Setelah semuanya telah disepakati maka tahapan ini ditutup dengan do’a kemudian acara sujud si gadis (calon pengantin wanita) kepada calon mertuanya dengan ditandai pemberian emas kepada calon pengantin wanita sebagai tanda kasih calon mertuanya.
7. Nganterke Belanjo
Istilah Nganterke Belanjo ini dapat diartikan sebagai tahapan membeli hal-hal yang diperlukan pada waktu proses pernikahan dilaksanakan. Biasanya proses ini dilakukan oleh kaum Hawa setengah bulan atau beberapa hari sebelum hari Munggah.

Adapun tahapan yang dilakukan semenjak prosesi akad nikah sampai acara nganter penganten adalah:


1. Upacara Akad Nikah
Acara ini dilaksanakan di rumah pengantin pria. Dan menurut tradisi apabila acara akad nikah dilakukan sebelum munggah maka keluarga atau utusan dari pihak gadis terlebih dahulu memberikan keris ke kediaman pihak bujang.
2. Ngocek Bawang
Acara ini dibagi menjadi dua: Ngocek bawang kecil yang dilakukan dua hari sebelum hari munggah serta Ngocek bawang besak yang dilakukan sehari sebelum hari munggah
3. Munggah
Acara ini merupakan puncak dari prosesi pernikahan adat Palembang. Sebelum acara ini dimulai dibentuklah panitia yang akan berangkat ke rumah mempelai gadis, panitia tersebut yaitu: Pertama, kumpulan rudat dan kuntau. Kedua, pengantin pria diapit kedua orang tua, dua orang pembawa tombak, seorang pembawa payung pengantin, seorang juru bicara, pembawa bunga langsih dan pembawa ponjen adat serta pembawa hiasan adat dan gegawan.

4. Nyanjoi
Acara ini dilakukan tepat pada malam setelah hari munggah. Dan acara ini biasanya dibagi menjadi dua sesi yaitu malam pertama bagi muda-mudi dan malam keduanya bagi orang tua.
5. Nyemputi
Setelah acara nyanjoi selesai, maka rombongan dari pihak penganten pria siap menjemput penganten wanita untuk di bawa ke tempat mereka.
6. Nganter Penganten
Setelah mengunjungi tempat penganten pria maka penganten wanita dibawa kembali ke tempatnya dan pada saat itu diadakan acara mandi simburan yang ditujukan untuk menyambut malam perkenalan antara penganten pria dengan penganten wanita.

2.2 Kebutuhan Yang Diperlukan
Selain biaya yang sudah tentu dibutuhkan dalam prosesi pernikahan. Ada beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi terutama oeh pihak pria, dikarenakan tatkala tahapan sebelum pernikahan pihak pria banyak disibukkan dengan keperluan-keperluan tersebut yang mesti dipenuhi. Walaupun dalam tahapan pelaksanaan pernikahan pihak wanita lebih dominan.
Di antara kebutuhan yang diperlukan oleh pihak pria sebelum pelaksanaan prosesi pernikahan adalah: Utusan atau delegasi yang tugasnya dimulai dari mencari, menyelidiki sampai acara ngebet atau ngelamar.
Kemudian kebutuhan lain yang diperlukan oleh pihak wanita tatkala proses pernikahan dan pasca-nya adalah: Bertangas, bebedak, berpacar (berinai).

BAB III
STUDI KASUS

3.1 Sekilas Upacara Pernikahan Adat Palembang
Upacara pernikahan yang dilakukan di kota Palembang ini merupakan salah satu adat yang sedikit banyak dipengaruhi oleh agama-agama terutama agama Budha dan Hindu. Terlihat di dalam sejarah bahwa kota Pelembang dahulu pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya. Dan dilihat dari busana serta ritual adatnya mengambarkan keagungan, kemewahan serta kejayaan raja-raja dinasti Sriwijaya yang mengalami masa keemasan di Semananjung Melayu berabad silam.
Setelah runtuhnya kerajaan Sriwijaya, tepatnya pada zaman kesultanan Palembang sekitar abad 16 dan pasca kesultanan. Pernikahan ditentukan oleh keluarga besar dengan pertimbangan bobot, bibit dan bebet. Lalu pada masa sekarang ini pernikahan banyak ditentukan oleh kedua belah pihak itu sendiri.
Oleh karena itu, walaupun pada masa sekarang ini yang dikenal dengan zaman IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), upacara pernikahan sudah banyak dilakukan oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, efek dari masa silam tepatnya masa raja-raja dinasti kerajaan Sriwijaya tak bisa lepas. Semacam peran keluarga dalam pemilihan calon gadis buat anak bujangnya dan juga memberikan kebebasan kepada anaknya (para bujang keturunan raja, atau bujang dari anak bangsawan) yang memiliki sedikit lebih banyak dari masyarakat lain terutama hal-hal yang bersifat finansial maupun kedudukan untuk memilih gadis idamannya.
Adapun keadaan masyarakat ketika itu memang belum bisa untuk mengikuti atau menerima kebiasaan yang dilakukan oleh para anak bangsawan, karena memang adat yang diperagakan tersebut banyak membutuhkan biaya, mulai dari pra akad nikah sampai pascanya. Selain itu, tahapan-tahapan yang dilakukan di dalam adat ini sangat banyak membutuhkan waktu sehingga waktu banyak terbuang hanya untuk mempersiapkan hal itu, padahal pekerjaan lain masih banyak. Apalagi ketika itu mayoritas masyarakat berprofesi semacam petani dan lain sebagainya.
Pada saat ini Tahapan-tahapan yang ada di dalam upacara pernikahan adat Palembang, sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya dikarenakan memang tahapan tersebut terlalu rumit dan banyak lika-likunya. Padahal di zaman yang modern ini masyarakat menginginkan semua hal dapat dilakukan dengan singkat tapi tepat, dengan arti walaupun acaranya dipersingkat tapi isi dari acara tersebut telah mencakupi semuanya (adat) atau dalam bahasa Inggris-nya biasa dikatakan dengan simple but perfect.
Walaupun dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, masih ada masyarakat yang melakukan adat semacam ini yang banyak memakan dana serta waktu. Selain itu, mereka juga masih mempercayai bahwa di dalam adat ini ada banyak hikmah yang dapat dipetik dan dirasakan.

3.2 Letak Geografis Kota Palembang
Secara geografis kota Palembang, ibukota Sumatera Selatan terletak di antara 101-105 derajat lintang selatan dan 1.5-2 derajat bujur timur. Luasnya adalah 400.6 Km persegi; berbatasan dengan OKI di sebelah Selatan dan Muba di sebelah Timur, Utara, dan Barat.
 Tinggi rata-rata kota Palembang adalah 12 m di atas permukaan air laut dengan pengaruh pasang sekitar 3-5 m yang kadang-kadang menggenangi daratan rendah di pinggiran kota. Sungai Musi, sungai terbesar dan terpanjang di Sumsel membelah Palembang menjadi 2 bagian yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Jembatan Ampera, yang dikenal juga sebagai jembatan Musi 1 menghubungkan 2 daerah di pusat kota tersebut sementara Jembatan Musi 2 menghubungkan bagian barat laut kota. Di beberapa bagian, lebar sungai Musi mencapai 200 m. Sebagai jalur laut, sungai Musi bisa diairi  sampai ke bagian hulunya. Selain itu, Sungai Musi yang dilintasi oleh Jembatan Ampera yang berfungsi sebagai sarana transportasi dan perdagangan antar wilayah dan merupakan Kota Air yang terdiri dari 16 kecamatan dan 107 kelurahan.


3.3 Hikmah Di Balik Upacara Pernikahan Adat Palembang
Di antara sekian banyak hikmah di balik upacara pernikahan adat masyarakat kota Palembang. Di bawah ini sedikit akan dipaparkan berkenaan dengan hal itu. Selain sebagian masyarakat kota Palembang mengakui akan adanya nilai yang tersembunyi di dalam adat ini, sejarah juga mengatakan bahwa efeknya juga bagus, baik itu bagi kedua mempelai, kedua keluarga maupun bagi masyarakat disekitarnya.
Nilai yang terdapat di dalam upacara pernikahan adat Palembang ini adalah:
a. Tanggung Jawab
Tanggung jawab dapat diartikan sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya, yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Selain itu, tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Di dalam surat al-Mudattsir ayat: 38 Allah SWT berfirman dengan artinya: “Tiap-tiap diri (individu) bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”
Dari dalil ini bahwa kita selaku umat manusia sudah semestinya memiliki rasa tanggung jawab atas apapun yang telah dilakukan sehingga kita akan selalu berpikir terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu. Hal ini sesuai dengan pepatah Arab mengatakan “Fakkir qobla an ta’zim” (berpikirlah terlebih dahulu sebelum kamu menginginkan/melakukan sesuatu).
Dari pengertian tersebut, bahwa tanggung jawab itu dapat berupa atau terbagi menjadi beberapa bagian, karena memang rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang itu selain bagi diri sendiri juga bagi orang lain. Bagian dari tanggung jawab itu sendiri adalah:
1. Tanggung Jawab Terhadap keluarga
Di dalam keluarga tanggung jawab dapat diartikan atau menyangkut dengan nama baik keluarga, kesejahteraan, keselamatan, pendidikan dan kehidupan keluarga itu sendiri.


2. Tanggung Jawab Kepada Masyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa lepas dari kemasyarakatan atau orang lain dengan kata lain manusia tidak bisa hidup dengan kesendirian. Oleh karena itu, setiap apa yang dlakukan oleh seseorang pasti terikat dengan perbuatan orang lain dan sudah seharusnya seseorang itu harus bertanggung jawab kepada orang lain (masyarakat).

3. Tanggung Jawab Kepada Bangsa dan Negara
Selain seseorang adalah bagian dari masyarakat, ia juga merupakan bagian dari bangsa suatu Negara. Oleh karena itu, tatkala seseorang melakukan sesuatu tak lepas dari aturan yang ditetapkan oleh bangsanya dan apabila ia melanggarnya hukuman wajib atasnya.

4. Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Bagian yang terakhir dari tanggung jawab adalah tanggung jawab kepada Sang Pencipta alam semesta beserta isinya. Aplikasi dari rasa itu adalah beribadah kepada-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Apabila kita melakukannya (apa-apa yang dilarang) maka, balasan akan menanti di Akhirat sana. Sebagai dalil di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka itu menyembah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56).

Dari pengertian hingga pembagian tanggung jawab, dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan salah satu nilai atau hikmah yang dapat di ambil dari salah satu adat Palembang yaitu upacara pernikahan, dimana dengan adat ini kedua calon serta keluarga juga para delegasi dilatih dan diuji untuk memiliki rasa atau sikap tanggung jawab, apalagi setelah agama Islam masuk ke daerah melayu banyak masyarakat yang mengetahui akan pentingnya rasa tanggung jawab itu sendiri. Dengan adat ini pula yang memiliki tahapan atau planning begitu panjang menunjukkan adanya keseriusan untuk menyatukan tekad bersama antara kedua mempelai, terutama bagi calon penganten laki-laki (bujang) yang nantinya akan menjadi pemimpin di dalam sebuah rumah tangga ataupun keluarga.
b. Keadilan
Keadilan memiliki pengertian pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Selain itu, keadilan juga dapat diartikan mendapat perlakuan adil.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak ataupun tidak sewenang-wenang. Dengan demikian keadilan mengandung pengertian berbagai hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau tidak sewenang-wenang.
Dari pengertian keadilan di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan sangat dibutuhkan di dalam kehidupan ini baik itu keadilan bagi diri sendiri maupun bagi diri orang lain, agar kebahagian dapat terpenuhi.
Berkaitan dengan masalah upacara pernikahan adat Palembang, maka keadilan merupakan salah satu nilai yang tersirat di dalamnya. Dengan tahapan-tahapan yang dilakukan baik pra sampai pasca akad nikah terlihat adanya pembagian tugas serta fungsi masing-masing secara adil, sehingga terciptalah kebersamaan di antara kedua belah pihak.

c. Kebebasan
Kebebasan berasal dari kata bebas yang berarti merdeka. Akan tetapi di dalam kebebasan tersebut tak lepas dari suatu aturan atau norma sehingga dapat diartikan bebas bagi dirinya namun tidak untuk orang lain. Contohnya: seseorang bebas melakukan sesuatu akan tetapi ia juga harus melihat norma atau hukum yang berlaku, apakah perbuatan yang ia lakukan bertentangan atau serasi dengannya (hukum).
Di dalam upacara pernikahan adat Palembang nilai yang satu ini sangat menonjol dari yang lain karena terlihat dari awal bahwa kebebasan ini sangat dianjurkan. Contohnya saja pada waktu pemilihan calon, keluarga sangat memberikan keleluasan kepada anaknya (bujang) untuk mengajukan gadis yang hendak ia nikahi. Akan tetapi, calon mempelai tersebut tetap harus diperlihatkan kepada keluarga terlebih dahulu, yang pada akhirnya disepakati bersama.

d. Keserasian
Keserasian berasal dari kata serasi berarti cocok, sesuai, atau kena benar. Dan semua kata tersebut mengandung pengertian perpaduan, pertentangan, ukuran dan seimbang.
Kata serasi ini erat hubungannya dengan selaras (harmony) yang merupakan salah satu poin dari keserasian itu sendiri yaitu seimbang atau keseimbangan/keharmonisan. Dan kata ini (serasi/selaras) telah dicontohkan Allah SWT dengan kata lain dilakukan-Nya untuk menciptakan segala sesuatu di alam ini sehingga keadilan akan tercipta. Seperti Allah menciptakan Surqa dan Neraka, menciptakan laki-laki dan perempuan. Juga menciptakan siang dan malam. Hal ini semua dibuktikan dengan ayat al-Qur’an yang artinya “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura’: 11).
Nilai yang satu ini sangat erat pula hubungannya dengan upacara pernikahan adat masyarakat Palembang, karena memang dengan perencanaan serta program yang banyak serta berimbang dan serasi dengan masyarakat dengan kata lain sesuai dengan lingkungan kehidupan masyarakat.
Selain itu, dalam tahapan pemilihan calon dapat dilihat bahwa ketika antara keluarga dengan calon penganten laki-laki (bujang) dan para utusan terdapat kecocokan dalam menentukan pilihan sehingga tidak akan adanya ketimbangan ataupun perselisihan. Karena memang sebelumnya diadakan kesepakatan terlebih dahulu.

3.4 Analisa
Setelah melihat sekilas tentang upacara pernikahan adat Palembang, letak geografis wilayah kota Palembang serta nilai yang tersirat di dalamnya, maka dapat dianalisa apakah adat masyarakat Palembang ini memberikan pengaruh baik kepada masyarakat yang melakukan ataupun tidak. Terutama pengaruh nilai yang terkandung di dalam adat ini, apakah dapat membekas pada kehidupan serta pola prilaku masyarakat Palembang.
Di antara analisa yang akan diambil di dalam makalah ini adalah:
a. Di tinjau dari segi tanggung jawab
Di atas telah dijelaskan bahwa rasa tanggung jawab ini akan selalu muncul dalam diri manusia, apalagi tatkala ada hak atau kewajiban yang patut dipenuhi. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa rasa tanggung jawab ini akan menghilang tatkala rasa cuek atau acuh tak acuh muncul di dalam melaksanakan suatu kewajiban atau memenuhi suatu hak.
Dengan adanya upacara pernikahan adat Palembang ini yang hampir dilakukan setiap minggu ataupun bulannya, sedikit banyak telah memberikan kontribusi kepada masyarakat terutama kepada para calon kedua mempelai serta para utusan bagaimana memegang rasa tanggung jawab atas sebuah hak maupun kewajiban.
Dari hasil pengamatan, bahwa masyarakat Palembang dapat memegang rasa tanggung jawab tersebut, walaupun dalam kadar sederhana. Ini tak lepas dari pengaruh dari perkembangan zaman dan teknologi yang menginginkan segala sesuatu berjalan dengan cepat. Sehingga masih terdapat kecurangan, semisal baru-baru ini salah satu anggota DPRD kota Palembang terbukti melakukan korupsi atas lahan yang dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api sekarang, dimana lahan tersebut merupakan wilayah yang dilindungi (hutan). Akan tetapi, dari kedua mempelai budaya ini yang mengajarkan pentingnya rasa tanggung jawab dapat diartikan telah berpengaruh besar sehingga keretakan atau perceraian di dalam rumah tangga dapat diminimalisir.



b. Di tinjau dari segi keadilan
Dari segi keadilan, budaya upacara pernikahan yang memiliki beberapa fase sebelum dan sesudahnya ini sangat memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada masyarakat Palembang terutama pada bidang keadilan ini.
Ini semua dapat dilihat dari pola prilaku masyarakat Palembang yang semakin hari semakin membaik, yang dahulunya masyarakat kecil sering mendapatkan tindakan yang kurang adil dari atasan dengan kata lain pemerintah. Sebagai contoh: dari segi pembangunan (kuantitas) sekarang pemerintah sudah mulai mengimbangi antara pembangunan yang ada di kota maupun di daerah/desa.

c. Di tinjau dari segi kebebasan
Analisa selanjutnya dari segi kebebasan. Diketahui bahwa budaya upacara pernikahan ini telah memberikan i’tibar kepada masyarakat Palembang yaitu setiap melakukan sesuatu kita diberikan kebebasan walaupun pada akhirnya kebebasan tersebut tetap harus mengikuti kaidah atau asas hukum yang telah disepakati bersama.
Dilihat dari pola prilaku masyarakat Palembang dengan adanya budaya ini, bahwa sekarang mereka lebih bebas untuk mengutarakan atau melakukan sesuatu akan tetapi para atasan tetap memberikan rambu-rambu agar kebebasan tersebut tidak keluar dari norma atau syari’at yang berlaku karena memang Indonesia merupakan Negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Contohnya: masyarakat bebas untuk tidak melaksanakan tahapan-tahapan di dalam upacara pernikahan adat Palembang. Akan tetapi hal-hal pokok dari pernikahan itu sendiri mesti tidak pula mereka tinggalkan melainkan harus dikerjakan semisal mas kawin dan lain-lainnya.

d. Di tinjau dari segi keserasian
Telah dijelaskan di atas bahwa nilai keserasian terdapat di dalam budaya ini, sehingga antara masyarakat dengan keluarga kedua mempelai terjadinya keserasian.
Meskipun keserasian ini sudah dibayankan oleh Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, tidak bisa dielakkan bahwa pola prilaku masyarakat Palembang belum sepenuhnya menghayati serta mempraktekkan hal tersebut. Contohnya: masih terdapat masyarakat yang belum mampu mengimbangi mana yang sunnah maupun yang wajib dalam kadar Mu’amalah Ma’a Allah. Hal ini dapat di lihat tatkala pelaksanaan Shalat Tarawih dan Shalat Shubuh pada bulan Ramadhan. Dapat dibandingkan bahwa mayoritas jama’ah pada kedua waktu itu terjadi pada waktu Shalat Tarawih.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan serta studi kasus di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa di dalam adat upacara pernikahan atau perkawinan Palembang dikenal istilah-istilah yang beranekaragam, sehingga adat ini dapat menjadi kebudayaan yang khas bagi masyarakat Palembang.
2. Dengan tahapan yang begitu panjang dan rumit, maka adat ini sangat membutuhkan planning serta biaya yang tidak sedikit.
3. Dengan tahapan-tahapan itu pula, adat ini memiliki nilai lebih dari adat-adat yang lain, dimana nilai tersebut selain dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar juga kepada keluarga serta kedua mempelai.

4.2 Saran
Setelah makalah ini dibuat, ada beberapa saran yang ingin disampaikan kepada:
1. Pelajar/Mahasiswa, untuk selalu menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal sehingga kepunahan akan terhindarkan. Dan cinta tersebut dapat diaplikasikan dalam berbagai macam bentuk baik teoritis maupun praktis.
2. Pengajar/Dosen, untuk selalu memberikan support serta arahan kepada pelajar agar dapat mempertahankan serta mencintai kebudayaan yang kita miliki.
3. Masyarakat, agar selalu mendukung kebudayaan yang telah kita miliki dengan memberikan teguran dan menjaga kelestariannya.

DAFTAR RUJUKAN

Karimsh. 2007 ed. V“Perkawinan Adat Palembang”. http://karimsh.multiply.com diakses 10 Mei 2008

Mustofa, Ahmad. 1999. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia

Notowidagdo, Rohman. 2000. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

1977. Adat Upacara Pernikahan Palembang. Jakarta: Depdikbud

http://visitmusi.com diakses 10 Mei 2008

Read More......

Ibnu Rusyd


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Akal merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki manusia, sehingga dengan akal tersebut manusia dapat menjadi beradab maupun sebaliknya, tergantung pribadi masing-masing. Dapat dilihat bahwa dahulu para ilmuwan seperti: Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali dan lain-lain, telah menggunakan akal tersebut sesuai dengan fungsinya sehingga munncul-lah konsep pengetahuan yang akhirnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan.
Selain beberapa ilmuwan di atas, ada salah seorang filosof muslim yang telah mengintegrasikan antara wahyu dan akal, sehingga di dalam perjalanan kehidupannya ia banyak menghabiskan hanya untuk menelaah serta meniliti para pemikir sebelumnya, di antaranya adalah Aristoteles dan Al-Ghazali, dimana dari dua pemikir ini ia dapat memberikan satu konsep pengetahuan bahwa wahyu dan akal dapat dikombinasikan. Selain menelaah, beliau juga mengkritik beberapa pemikir sebelumnya, diantaranya: Ibnu Sina dan Al-Farabi. Beliau adalah Ibnu Rusyd.

Sebagian umat muslim belum banyak mengenal begitu jauh siapa filosof Ibnu Rusdy tersebut, dimana pemikirannya telah tersebar luas sampai di benua Eropa sana. Selain itu, Ibnu Rusyd juga-lah yang mempelopori timbulnya renaisans di Eropa. Banyak konsep pengetahuan yang beliau lahirkan sehingga tidak pantas bagi kita (umat muslim) untuk tidak mengenal sang filosof muslim ini.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan sedikit dipaparkan identitas serta pemikiran sang filosof muslim yang telah merekonsiliasi antara wahyu dan akal. Dan juga kritikan beliau kepada Imam Al-ghazali yang telah mengkafirkan para filosof serta Emanasionisme Filosof Muslim.


1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Ibnu Rusyd?
2. Apa Saja Karya-karya Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana Hukum Mempelajari Filsafat Menurut Ibnu Rusyd?
4. Bagaimana Filsafat Ibnu Rusyd?
5. Bagaimana Kritik Ibnu Rusdy Terhadap Emanasionisme Filosof Muslim?
6. Bagaimana Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa?

1.3 Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan masalahnya adalah:
1. Mendeskripsikan Riwayat hidup Ibnu Rusyd
2. Mendeskripsikan karya-karya Ibnu Rusyd
3. Mendeskripsikan Hukum Filsafat Menurut Ibnu Rusyd
4. Mendeskripsikan filsafat Ibnu Rusyd
5. Mendeskripsikan kritik Ibnu Rusyd terhadap emanasionisme filosof muslim
6. Mendeskripsikan Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup
Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 M/510 H. Beliau adalah ahli falsafah yang paling agung yang dilahirkan dalam sejarah Islam, pengaruhnya bukan saja di dunia Islam akan tetapi di masyarakat Eropa juga, dan beliau lebih dikenal di sana dengan sebutan Averroes.
Ibnu Rusyd merupakan keturunan dari golongan orang yang berilmu dan ternama, Bapak dan Kakek beliau adalah seorang hakim di Cordova. Dan menurut Ibnu Abrar: “Sejak mulai berakal Ibnu Rusyd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.” oleh karena itu, beliau pernah belajar dengan Ibnu Zuhr yang akhirnya guru tersebut menjadi teman karib beliau. Dari Ibnu Zuhr, beliau belajar banyak tentang ilmu fiqih dan hal-hal yang menyangkut tentang obat-obatan. Selain itu, beliau juga akrab dengan kerajaan Islam Muwahhidin. Oleh karena keakraban itu pula beliau diangkat menjadi hakim di Sevilla sekitar tahun 1169 M. Dua tahun setelah itu beliau dilantik menjadi hakim pula tepatnya di kota kelahiran beliau yaitu Cordova. Pada tahun 1182 M beliau dilantik menjadi doktor di istana, akan tetapi beberapa tahun setelah beliau menjabat menjadi doktor istana tepatnya pada tahun 1195 M banyak pihak ataupun golongan yang iri atas prestasi yang Ibnu Rusyd raih serta mereka menganggap beliau adalah seorang mulhid dan seorang yang kafir. Oleh karena itu beliau diasingkan atau dibuang ke daerah lucena, dekat Cordova.
Setelah masa pembuangannya telah habis, tepatnya pada tahun 1197 M Ibnu Rusyd kembali ke Cordova lagi. Akan tetapi, tatkala beliau tiba tak ada sambutan dari masyarakat melainkan cemoohan dan beliau pun tersisihkan.
Di akhir hayat beliau Khalifah Al-Mansor al-Muwahhidin merasa telah berbuat salah terhadap Ibnu Rusyd sehingga beliau diasingkan serta dipinggirkan dari masyarakat. Oleh karena itu, sang khalifah memberikan penghormatan kembali kepada Ibnu Rusyd, akan tetapi penghormatan tersebut tak ada artinya disebabkan ajal telah menjemput beliau yaitu pada tanggal 10 Desember 1198 M (72 th.)/9 Shafar 595 H (75 th.).

2.2 Karya-karya
Ibnu Rusyd tidak meninggalkan barang atau harta benda apapun melainkan ilmu serta tulisan dalam pelbagai bidang seperti: filsafat, kedokteran, ilmu kalam, ilmu falak, fiqih, musik, tata bahasa (nahwu). Akan tetapi sangat disayangkan karya-karya beliau sangat sulit ditemukan dan apabila ada karya tersebut tidak lagi orisinil dengan kata lain telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Di antara karya-karya beliau adalah:
1. Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal, kitab ini berisi tentang korelasi antara ilmu filsafat dengan agama.
2. Al-Kasyf an Manahij al-Adillat fi Aqa’id al-Millat, kitab ini berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3. Tahafut at-Tahafut, kitab ini berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, kitab ini berisikan penjelasan tentang ilmu fiqih.
5. Kuliyyah fi at-Thibbi (16 jilid), kitab ini berisikan tentang hal-hal kedokteran/perobatan.
6. Mabadi al-Falsafah, kitab ini berisikan tentang awal mula ilmu filsafat.
7. Tafsir Urjuza, yang berisikan tentang kedokteran serta ketauhidan.
8. Taslul, berisikan tentang pengetahuan ilmu kalam.
9. Kasful Adilah, yang berisikan tentang filsafat dan agama.
10. De Anima Aristoteles, kitab ini berisikan tentang pelbagai hal yang berkaitan dengan musik.

2.3 Hukum Mempelajari Filsafat
Menurut Ibnu Rusyd, hukum mempelajari filsafat adalah wajib dengan kata lain dianjurkan oleh agama. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan hujjah beliau baik melalui sudut akal serta nash agama. Dari sudut akal beliau mengatakan bahwa dengan berfilsafat atau mempelajari segala apa yang ada di alam ini tentunya dapat diketahui segalanya ada yang menciptakan. Adapun dari segi nash agama, Ibnu Rusyd memberikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang berkaitan dengan penggunaan akal pikiran, diantaranya:
öqs9 $uZø9t“Rr& #x‹»yd tb#uäöà)ø9$# 4’n?tã 9@t6y_ ¼çmtF÷ƒr&t©9 $Yèϱ»yz %YæÏd‰|ÁtF•B ô`ÏiB ÏpuŠô±yz «!$# 4 šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $pkæ5ÎŽôØtR Ĩ$¨Z=Ï9 óOßg¯=yès9 šcr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
“Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr: 21)
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ ’Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ ωs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Äd“r'Î7sù ¤]ƒÏ‰tn ¼çny‰÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ
“ Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?” (QS. Al-A’raf: 185)
šÏ9ºx‹x.ur ü“̍çR zOŠÏdºtö/Î) |Nqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur tbqä3u‹Ï9ur z`ÏB tûüÏYÏ%qßJø9$# ÇÐÎÈ
“Dan Demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.” (QS. Al-An’am: 75)



2.4 Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Dalam memahami pemikiran Aristoteles beliau tidak langsung membaca karyanya yang berbahasa Yunani akan tetapi dengan bantuan buku-buku terjemahan dan ulasan-ulasan para ahli seperti: Hunain bin Ishaq, Yahya ibn Ady dan Abu Basyar.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd juga memikir, membahas dan memahami pemikiran para filosof sebelumnya dan juga tak segan-segan beliau memberikan kritikan serta bantahan apabila ada pembahasan yang tidak beliau setujui. Di bawah ini akan dijelaskan sedikit tentang filsafat Ibnu Rusyd:
a) Metode Pembuktian Kebenaran
Ada tiga macam metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran (Tashdiq), yaitu:
a. Metode Retorika (al-khatabiyyah), metode ini diperuntukkan bagi manusia awam.
b. Metode Dialektik (al-jadaliyah), metode ini diperuntukkan bagi manusia awam.
c. Metode Demonstratif (al-burhaniyyah), metode ini diperuntukkan kepada kelompok kecil manusia.
Dalam konteks syari’at, metode-metode terbagi kepada empat macam kategori:
a. Metode bersifat umum sekaligus bersifat khusus (metode yaqini/dipastikan kebenarannya). Kesimpulannya diambil dari sendiri bukan dari perumpamaan. Metode ini tidak membutuhkan takwil atau interpretasi lagi.
b. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur (benar karena dukungan pendapat umum) atau madhmum (benar karena dugaan umum) namun kebenarannya mencapai tingkat pasti. Kesimpulannya diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang menjadi tujuannya. Sehingga penafsiran di dalam metode dapat dilakukan.
c. Metode yang kesimpulannya berupa obyek-obyek yang hendak disimpulkan itu sendiri, sedangkan premis-premisnya bersifat masyhur atau madhmum. Kesimpulannya tidak membutuhkan takwil sekalipun di dalam premis-premisnya seringkali terjadi pentakwilan.
d. Metode yang premis-premisnya bersifat masyhur atau madhmum tanpa adanya kemungkinan untuk mencapai tingkat kebenaran. Kesimpulannya berupa perumpamaan-perumpamaan bagi obyek-obyek yang dituju. Metode ini bagi orang awam harus diartikan sesuai lahiriyahnya.
b) Metafisika
Masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama. Sifat positif yang diberikan kepada Allah adalah “Akal” dan “Maqqul” wujud Allah adalah Esa-Nya. Konsepsi ini tidak lepas dari pengaruh para filosof sebelumnya.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, Ibnu Rusyd sangat tidak sependapat dengan para aliran-aliran semacam Mu’tazilah, Asy’ariyah, Shufiah dan lain sebagainya. Oleh karena itu beliau memberikan alasan ketidaksependapatannya dengan aliran-aliran tersebut dengan dalil-dalil yang menyakinkan, diantaranya:
a. Dalil Inayah al-Ilahiyah (Pemeliharan Tuhan).
óOs9r& È@yèøgwU uÚö‘F{$# #Y‰»ygÏB ÇÏÈ tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ
“Bukankah Kami menjadikan bumi ini sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’: 6-7)
b. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan).
$yg•ƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# z>ÎŽàÑ ×@sWtB (#qãèÏJtGó™$$sù ÿ¼ã&s! 4 žcÎ) šúïÏ%©!$# šcqããô‰s? `ÏB Èbrߊ «!$# `s9 (#qà)è=øƒs† $\/$t/èŒ Èqs9ur (#qãèyJtGô_$# ¼çms9 ( bÎ)ur ãNåkö:è=ó¡o„ Ü>$t/—%!$# $\«ø‹x© žw çnrä‹É)ZtFó¡o„ çm÷YÏB 4 y#ãè|Ê Ü=Ï9$©Ü9$# Ü>qè=ôÜyJø9$#ur ÇÐÌÈ
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu sembah selain Allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor lalat-pun. Kendati pun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah”
(QS. Al-Hajj: 73)
c. Dalil Harkah (gerak). Alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi. Gerakan tersebut menunjukkan adanya penggerak pertama yaitu Tuhan.
Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibnu Rusyd lebih dekat kepada paham Mu’tazilah. Dalam hal ini beliau menggunakan prinsip-prinsip tasybih dan tanzih (penyamaan dan penyucian) yaitu pertama dengan menetapkan beberapa sifat positif kepada Allah. Kedua dengan, mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya, seperti sifat ‘ilm. Hal ini sebagaimana firman Allah:
¼çny‰YÏãur ßxÏ?$xÿtB É=ø‹tóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4 ÞOn=÷ètƒur $tB †Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur 4 $tBur äÝà)ó¡n@ `ÏB >ps%u‘ur žwÎ) $ygßJn=÷ètƒ Ÿwur 7p¬6ym ’Îû ÏM»yJè=àß ÇÚö‘F{$# Ÿwur 5=ôÛu‘ Ÿwur C§Î/$tƒ žwÎ) ’Îû 5=»tGÏ. &ûüÎ7•B ÇÎÒÈ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An’am: 59)
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿw $oYÏ?ù's? èptã$¡¡9$# ( ö@è% 4’n?t/ ’În1u‘ur öNà6¨ZtÏ?ù'tGs9 ÉOÎ=»tã É=ø‹tóø9$# ( Ÿw Ü>â“÷ètƒ çm÷Ztã ãA$s)÷WÏB ;o§‘sŒ ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# Ÿwur ’Îû ÇÚö‘F{$# Iwur ãtóô¹r& `ÏB šÏ9ºsŒ Iwur çŽt9ò2r& žwÎ) ’Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7•B
“Dan orang-orang yang kafir berkata: "Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami". Katakanlah: "Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)" (QS. Saba’: 3)
Mengenai hubungan zat dengan sifat Allah, Ibnu Rusyd memahami sifat Allah sebagai ‘itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu bagi orang awam cukup diajarkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disyara’kan.
c) Moral
Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerjasama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Agama dengan akhlak secara praktis dan filsafat secara teoritisnya, oleh karena itu diperlukan relasi dengan akal aktif.
d) Kritikan Terhadap Al-Ghazali
Pemikiran Ibnu Rusyd mulai mencuat tatkala ia menanggapi karya Al-Ghazali Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat) yang kata-kata atau kalimat, yang disampaikan al-Ghazali di dalam buku tersebut tidak menyakinkan serta tidak dapat memberikan pemahaman secara murni tentang filsafat itu sendiri. Kemudian pemikiran tersebut beliau tuangkan langsung dalam sebuah karya yang berjudul Tahafut at-Tahafut (kerancuan dari kerancuan). Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pembicaraaan al-Ghazali terhadap pemikiran filosof-filosof itu tidak pantas karena dua hal: Pertama, sebenarnya beliau memahami pemikiran-pemikiran para filosof tersebut, akan tetapi tidak disebutkan secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk Kedua, beliau membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, ini termasuk perbuatan orang-orang bodoh.
Adapun tiga butir yang dianggap al-Ghazali para filosof salah dalam pemikirannya dan beliau mengatakan mereka (para filosof) adalah kafir. Tiga butir tersebut adalah: Kadimnya alam, Allah tidak mengetahui rincian di alam dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Dan dari pernyataan al-Ghazali tersebut maka Ibnu Rusyd langsung menanggapinya. Tanggapan beliau sebagai berikut:
1. Alam Itu Kadim
Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof muslim salah mengartikan bahwa alam itu kadim yang diciptakan dari sesuatu (materi) yang ada, padahal alam diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada. Dari pandangan al-Ghazali ini-lah Ibnu Rusyd langsung memberikan tanggapan bahwa apa yang diungkapkan al-Ghazali keliru karena tidak ada seorang pun dari filosof muslim yang menyatakan bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Dan mustahil atau nihil apabila sesuatu itu ada dari yang tidak ada. Kemudian Ibnu Rusyd memberikan beberapa dalil dari ayat suci al-Qur’an sebagai bukti bahwa tatkala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu yang lain. Ayat tersebut yaitu:
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u‘ $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30)
uqèdur “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur ’Îû Ïp­GÅ™ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã ’n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3•ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã ... ÇÐÈ
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya….” (QS. Hud: 7)
§NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }‘Édur ×b%s{ߊ ...
“Kemudian, Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap…”
(QS. Fushilat: 11)
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa alam ini diciptakan setelah adanya sesuatu yang lain yakni: al-maau (air) dan ad-dukhon (uap).
2. Allah Tidak Mengetahui Rincian di Alam
Al-Ghazali menuduh bahwa para filosof muslim mengatakan Allah tidak mengetahui yang parsial di alam. Tuduhan ini sangat tidak benar, karena menurut Ibnu Rusyd maksud dari filosof muslim tersebut adalah pengetahuan Allah tentang parsial di alam ini berbeda dengan pengetahuan manusia, dimana pengetahuan Allah itu bersifat kadim, maksudnya pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu atau pengetahuan-Nya semenjak azali dan tidak bersifat kulliyah atau juziyyah. Sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu.
3. Kebangkitan Jasmani di Akhirat Tidak Ada
Menurut Ibnu Rusyd, sanggahan al-Ghazali kepada para filosof muslim tentang kebangkitan jasmani di akhirat kelak tidak ada adalah tidak benar. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam penafsiran tentang ajaran dasar dalam Islam bukan perbedaan dalam pro ataupun kontra terhadap ajaran dasar agama Islam. Dengan kata lain, mereka berbeda dalam berijtihad, dan perbedaan ini diperbolehkan dalam ajaran agama Islam karena sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang benar dalam berijtihad di bidangnya maka ia mendapatkan dua pahala sedangkan apabila salah maka ia mendapatkan satu pahala.”
Selain tiga perkara di atas, Ibnu Rusyd juga membantah pemikiran al-Ghazali tentang hubungan atau hukum sebab akibat (kausalitas) serta kaitannya dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat Nabi.
a) Menurut Ibnu Rusyd, antara hubungan sebab dan akibat terdapat hubungan keniscayaaan atau hubungan yang dharury (pasti), dimana sebab sangat berpengaruh terhadap lahirnya suatu akibat. Pandangan ini bertolak belakang dengan pendapat para mutakalimin termasuk al-Ghazali yang mengingkari adanya sebab dan dapat mempengaruhi lahirnya suatu akibat. Kemudian Ibnu Rusyd menambahkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan ciri tertentu (sifat zatiyah), maksudnya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada kekuatan yang telah ada sebelumnya.
b) Ibnu Rusyd mempertanyakan ulang pendapat al-Ghazali yang menyatakan bahwa hubungan sebab akibat sebagai adat atau kebiasaan. Dan adat seperti apa yang dimaksud disini apakah adat fa’il (Allah), atau adat mawjud atau adat bagi kita dalam menentukan sifat. Karena ketidakjelasan tersebut maka Ibnu Rusyd membantah pendapat al-Ghazali, dengan mengatakan apabila adat tersebut diartikan sebagai fa’il maka ia bertentangan dengan firman Allah:
sp¨Zß™ `tB ô‰s% $uZù=y™ö‘r& šn=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß™•‘ ( Ÿwur ߉ÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xƒÈqøtrB ÇÐÐÈ
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu.” (QS. Al-Isra’: 77)
Apabila diartikan sebagai mawjud maka ia bukan adat namanya akan tetapi tabiat. Sedangkan apabila diartikan sebagai adat bagi kita dalam menentukan sifat, maka hubungan (nisbat) antara mawjud dan fa’il tidak ada.
c) Hubungan sebab akibat tidak didasari atas akal sehat. Statement yang disampaikan al-Ghazali ini sangat tidak benar, menurut Ibnu Rusyd dengan pengetahuan akal sehat itulah maka segala yang ada (mawjud) beserta sebab akibatnya dapat diketahui. Setelah itu akan diketahui pula hikmah yang terkandung di dalamnya dan semua ini atas pertimbangan akal. Akan tetapi Ibnu Rusyd berpendapat mengapa al-Ghazali berstatement seperti itu karena beliau khawatir akan membatasi kehendak Allah serta memberikan kekuasaan kepada Alam dan kekhawatiran tersebut dijawab oleh Ibnu Rusyd dengan mengatakan bahwa sunnatullah merupakan suatu keniscayaan yang diciptakan dan ditentukan oleh Allah atas kehendak-Nya.
d) Al-Ghazali mengatakan apabila orang mempercayai akan adanya hubungan antara sebab akibat maka mereka telah mengkhianati adanya mukjizat Nabi. Pernyataan ini langsung ditanggapi oleh Ibnu Rusyd dengan memberikan pernyataan bahwa mukjizat nabi itu dibagi menjadi dua: Pertama, mukjizat al-Barraniy yaitu mukjizat yang tidak sesuai dengan risalah kenabian. Kedua, mukjizat al-Jawwaniy yaitu mukjizat yang sesuai dengan risalah kenabian, seperti Al-Qur’an. Dari pembagian mukjizat nabi ini Ibnu Rusyd menentang pemahaman al-Ghazali di atas. Dan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mukjizat al-Barraniy itu dapat ditakwilkan dan boleh jadi mukjizat ini dapat diungkapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang, karena memang merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan.
e) Kerasulan Nabi
Para ahli kalam membuktikan kerasulan itu dengan qiyas atau perumpamaan yaitu apabila seseorang berkehendak maka ia dapat melakukan sesuatu dan apabila Tuhan beriradah maka Tuhan dapat mengutus Rasul-rasul-Nya. Selain itu golongan Asy’ariyah menambahkan bahwa orang yang mengaku menjadi utusan Tuhan, maka harus menunjukkan bukti bahwa ia benar-benar seorang utusan, bukti tersebut biasa disebut Mu’jizat. Akan tetapi dengan metode qiyas seperti ini hanya akan membawa kepada kesimpulan yang kurang memuaskan dengan kata lain tak dapat dijadikan qiyas burhani (qiyas yang menyakinkan).
Dari ketidakpuasan inilah Ibnu Rusyd berpandangan bahwa pembuktian dengan qiyas di atas dapat diterima oleh kaum awam atau kebanyakan orang, tapi bagi kaum yang lain pembuktian tersebut masih mengandung kelemahan. Di antaranya: dari mana kita mengetahui bahwa mu’jizat yang nampak pada seseorang yang mengaku Nabi itu adalah tanda dari Tuhan yang menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar rasul-Nya.
Untuk membuktikan kerasulan Nabi, Ibnu Rusyd memberikan ceritera tentang kerasulan Nabi Muhammad, dimana tatkala kaum Quraisy meminta tanda-tanda kerasulan Beliau, maka Nabi diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:
ö@è% tb$ysö7ß™ ’În1u‘ ö@yd àMZä. žwÎ) #ZŽ|³o0 Zwqß™§‘ ÇÒÌÈ
“Katakan Maha Suci Allah, Aku ini tidak lain hanyalah manusia yang menjadi rasul” (QS. Al-Isra’: 93)
Dari kisah ini dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang menyimpang dari hukum alam adalah semata-mata kehendak Allah SWT.
Selain itu, Ibnu Rusyd juga mengatakan apabila mu’jizat tidak dapat dijadikan batu sandaran sebagai seorang rasul, maka cara yang kedua yaitu dengan membaca dan memahami al-Qur’an dengan sungguh-sungguh sehingga akan dapat dibuktikan kerasulan seseorang.
f) Akal dan Jiwa
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi karena bentuk materi bisa ada hanya di dalam materi. Oleh karena itu akal yang merupakan sarana dalam mendapatkan pengetahuan dan jiwa yang merupakan bentuk materi yang tak dapat dipisahkan dengan materi itu sendiri.
Dari pandangan Ibnu Rusyd di atas, dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dan hewan sangat berbeda. Apabila hewan dengan imajiasi atau perasaannya ia dapat mengetahui sesuatu, lain lagi manusia, dengan menggunakan akal ataupun perasaan pengetahuan dapat dicerna. Selain itu, pengetahuan manusia yang bersifat sementara tidak dapat disamakan dengan pengetahuan Tuhan yang luar biasa serta abadi.

2.5 Kritik Ibnu Rusdy Terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd tidak sepakat dengan para Filosof Muslim tentang emanasionisme, dengan kata lain menolak tentang hal itu. Ada beberapa kelemahan serta pertentangan di dalam emanasionisme ini dan membuat Ibnu Rusdy mengeluarkan kritikan serta alasan tentang hal ini. Kritikan tersebut adalah:
1. Para filosof Muslim mengatakan bahwa “al-fa’il al-awwal (Pencipta pertama) hanya memancar satu.” Pendapat ini bertentangan dengan pendapat mereka sendiri yang mengatakan bahwa “yang memancar dari yang satu pertama terdapat pada-nya yang banyak.” Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pendapat ini dapat diterima apabila dikatakan yang banyak terdapat pada akibat pertama (al-maf’ul al-awwal). Dengan ini maka keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali kepada yang satu.
2. Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa prinsip-prinsip (al-mabadi’) yang memancar dari prinsip yang lain itu, maksudnya bahwa prinsip-prinsip tersebut memiliki maqamat tertentu dari prinsip pertama. Sehingga antara fa’il, maf’ul dan makhluq memiliki hubungan di antaranya.

2.6 Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Pokok pemikiran Ibnu Rusyd adalah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal). Dengan ini, ada dua bentuk pendekatan yang digunakan oleh Ibnu Rusyd untuk merealisasikan pemikirannya di atas (Alwi Shihab, 1988:4), yaitu: Pertama, dimulai dengan meneliti filsafat kemudian diakhiri dengan penjelasan tentang agama. Pendekatan ini ada pada bukunya Fashl al-Maqal. Kedua, dimulai dengan mengkaji serta menjabarkan ajaran agama lalu merekonsiliasi dengan hasil penelitian filsafat terhadap alam. Pendekatan ini ada pada buku al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ‘Aqaid al-Millat.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran Ibnu Rusyd:
1. Frederick II sebagai pencinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada komentar-komentar Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles.
2. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibnu Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibnu Rusyd dalam bahasa-bahasa Latin dan Ibrani.
3. Pada abad ke-16 karya-karya Ibnu Rusyd kembali diterjemahkan karena sebagian pengkaji filsafat berpandangan bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles sebaiknya membaca karya Ibnu Rusyd.
Dari penerjemahan serta penerbitan karya Ibnu Rusyd inilah, maka pemikiran beliau tersebar di Eropa. Penyebaran pemikiran beliau tidak serta merta tersebar secara langsung akan tetapi masih melalui murid-murid beliau dari Eropa yang belajar di Spanyol. Mereka dikenal dengan sebutan Averroisme.
Pada akhir abad ke-12 sampai akhir abad ke-16 Averroisme menjadi aliran pemikiran yang dominan, sehingga menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh agama (Gerajawan) yang ortodoks. Misalnya, mereka mengancam para pemikir Averroisme dengan pembunuhan dan penjara. Sehingga banyak dari ilmuwan yang menjadi korban, seperti: Galileo, Copernicus dll. Akan tetapi usaha tersebut tetap tidak dapat menghentikan mereka untuk menyebarkan pemikirannya sehingga timbullah renaisans di Eropa yang kemudian membuat eropa berkembang serta maju dalam peradaban.
Awalnya dari perbedaan agama maka pemikiran Averroisme ini tidak dapat disamakan dengan pemikiran Ibnu Rusyd. Oleh karena itu, timbullah beberapa penyimpangan misalnya, pemikiran filsafat mungkin bertentangan dengan kebenaran agama tetapi keduanya harus diterima. Selain itu mereka juga mengatakan kebenaran ganda maksudnya kebenaran yang dibawa agama adalah benar, sedangkan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar. Padahal Ibnu Rusyd mengatakan bahwa kebenaran hanya satu maksudnya kebenaran yang dibawa agama tidak akan bertentangan dengan kebenaran filsafat, jika terdapat pertentangan maka dapat dilakukan pentakwilan (Takwil).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ibnu Rusyd merupakan sosok seorang filosof dan sufi yang sejati. Karena dengan pemikirannya yang merekonsiliasi antara wahyu dan akal.
2. Dengan berfilsafat seseorang tidak dapat dikatakan kafir sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali karena memang akal diciptakan untuk difungsikan sebagaimana mestinya yaitu untuk berpikir, terutama kepada segala sesuatu yang ada di alam ini.
3. Untuk mendapatkan suatu keyakinan dengan kata lain keimanan, tidak hanya dengan menggunakan wahyu akan tetapi dengan akal juga dapat membantu.

DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, A. 2007. “Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia
Nasution, Hasyimsyah. 1999. “Filsafat Islam”. Jakarta: PT. Gaya Media Pratama
Zar, Sirajuddin. 2007. “Filsafat Islam (Filosof & Filsafatnya)”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Read More......

Tasyri' di Masa Rasulullah

A. Pendahuluan
Sebelum agama Islam datang, keadaan bangsa Arab ketika itu sangatah jahil. Sampai-sampai mereka disebut kaum jahiliyyah atau kaum bodoh. Jahil di sini bukan dalam segi intelektual tapi dari segi akhlaq. Karena memang tingkah laku mereka yang amoral, seperti anak perempuan di kubur hidup-hidup karena mereka menganggap perempuan merupakan sesuatu hal yang naïf ataupun hina. Kemudian mereka membuat berhala sendiri yang akhirnya berhala tersebut mereka anggap Tuhan bagi mereka. Selain itu, belum adanya perundang-undangan yang mengatur kehidupan mereka. Keadaan mereka hampir sama dengan keadaan masyarakat Yunani sekitar abad ke V SM, yang pada awalnya masih belum mengenal filsafat, mereka hanya mempercayai hal-hal yang berbau mitos saja.

Memang sebelum agama Islam telah ada agama-agama lain yang mengajarkan bagaimana cara hidup yang baik tapi masih belum sempurna. Seperti kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Daud as., yaitu Kitab Zabur yang isinya hanya berupa nasehat-nasehat saja. Kemudian Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., yang isinya sudah ada tentang syariat. Dan yang ketiga kitab Allah berupa Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., yang isinya hampir sama dengan kitab suci Taurat akan tetapi kitab injil ini sudah dimodifikasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mereka sebut dengan perjanjian baru. Baru pada malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW turunlah wahyu terakhir yaitu Al-Qur’an yang mana Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya, yang sebagian isinya ada tentang yuridis yang dapat membimbing umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dengan kekhasanaan.
Nah, dari hal-hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah yang di bahas di dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW?
2. Apa Saja Sumber Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW?
B. Pembahasan
Di dalam periode Rasulullah SAW, tasyri’ dibagi menjadi dua periode yaitu: tasyri’ pada periode Makkah dan tasyri’ pada periode Madinah.
Tasyri’ Pada Periode Makkah
Tasyri’ pada periode ini bertujuan kepada penyebaran ketauhidan, karena memang keadaan masyarakat yang masih jahiliyyah, masih menyembah patung yang mereka buat sendiri. Selain itu umat Islam ketika itu memang jumlahnya hanya segelintir orang.
Adapun ayat-ayat yang turun pada periode ini tidak bersifat amali melainkan menjurus kepada pemeliharaan aqidah dan moral, penolakan terhadap kesyirikan, serta sedikit sekali yang membahas masalah ibadah.
Penyampaian Al-qur’an pada periode ini memakan waktu selama 13 tahun yaitu dari 18 Ramadhan tahun 41 sampai dengan awal bulan Robbi’ul Awwal tahun 54 dari kelahiran beliau. Ayat-ayat Al-Qur’an pada masa ini disebut dengan Makkiyah. Secara global ayat-ayat Makkiyah pendek-pendek.
Tasyri’ Pada Periode Madinah
Semenjak hijrah Rasulullah SAW dari Makkah menuju Madinah selama kurang lebih 10 tahun perkembangan umat Islam sangatlah pesat sehingga perlunya dibuat tasyri’ yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Semacam tasyri’ dalam beribadah, bermu’amalah, jihad, pidana, waris, perkawinan, thalaq, sumpah, peradilan dan segala hal yang mencakup dalam ilmu fikih.
Kekuasaan hukum pada masa ini hanya disandarkan kepada Baginda Rasulullah SAW semata dengan pegangan wahyu dari Allah SWT yaitu Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Oleh karena itu pada periode ini umat Islam telah menjadi umat yang tangguh dalam segala hal terutama dalam tatanan kehidupannya yang penuh dengan syaria’t Islam. Tak lepas dari itu pula selain al-Qur’an dan Hadits bahwa diakui juga Rasulullah dan para sahabat telah berijtihad dalam sebagian hukum. Diantaranya: ketika dalam perang tabuk Nabi mengizinkan orang-orang yang udzur berjihad dari kalangan orang-orang munafik untuk tidak ikut perang. (Lihat ayat 42-43 surat at-Taubah).
Ayat-ayat Al-Qur’an pada masa ini biasa disebut dengan ayat-ayat Madaniyah. Secara global ayat-ayat Madaniyah panjang-panjang, lalu di awal ayatnya kebanyakan diawali dengan kalimat “Yaa ayyuhalladzina aamanuu” (Wahai orang-orang yang beriman) dan yang diawali dengan kalimat “Yaa ayyuhaa an-naasu” (Wahai Manusia) di dalam ayat-ayat Madaniyah seperti di dalam surat: Al-Baqoroh 21, 168. An-Nisa’ 170, 174. Al-Hajj 1 dan Al-Hujurat 13.
Sumber-sumber Tasyri’ di Masa Rasulullah SAW
Perundang-undangan pada periode Rasulullah SAW mempunyai empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah suatu kitab yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui Malaikat Jibril secara berangsur-angsur sejak malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Beliau.
Secara terminologi, Al-Qur’an diartikan sebagai berikut:
a. Qarana artinya menggabungkan
Maksudnya, surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dihimpun dan digabungkan dalam satu mushhaf.
b. Al-Qor’u artinya himpunan
Maksudnya, menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.
c. Al-Qur’an diartikan sebagai bacaan, ini pendapat yang paling kuat.
Secara istilah, banyak yang mengartikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, maksudnya pedoman bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan di dunia ini menuju dunia yang lebih abadi yaitu dunia Akhirat. Selain itu, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur sesuai dengan kejadian atau peristiwa, sebagai penjelas terhadap hukum yang dihadapi atau sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW dan ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan tanpa didahului oleh peristiwa ataupun permintaan fatwa.
Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, dinukil secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.
Oleh karena itu, Al-Qur’an dijadikan sumber utama dalam periode ini. Apabila timbul sesuatu yang menghendaki peraturan seperti perselisihan, peistiwa hukum, pertanyaan atau permintaan fatwa, Allah langsung menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya satu atau beberapa ayat yang memuat hukum yang dikehendaki, kemudian Rasulullah langsung menyampaikannya kepada kaum muslimin dan seterusnya dijadikan hukum yang patut diikuti.
Al-Qur’an mengatur tiga urusan:
I. Sesuatu yang berhubungan dengan iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya dan hari akhir. Ini semua termasuk dalam pembahasan Ilmu Kalam atau Ushuluddin. Sebagai contoh: Kewajiban mengenal Allah dan mengesakan-Nya terdapat pada surat: Al-Baqoroh; 164, Al-Anam; 1, 14, 75, 76, 77, 78, 95, 97, 99. Dan banyak lagi.
II. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hati serta dorongan kepada akhlaq yang baik. Ini termasuk dalam pembahasan materi ilmu akhlaq. Sebagai contoh: Menghormati guru terdapat dalam surat: Al-Kahfi, 73, 75-78.
III. Sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan anggota badan yakni perintah-perintah, larangan-larangan. Ini termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih. Sebagai contoh: Mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya terdapat dalam surat: Al-Baqoroh: 63, 67. Al-Imron; 32, 132. Dan lain-lain.

Al-Qur’an terdiri atas 30 juz, 114 surat, dan sekitar 6.000 ayat. Sedangkan ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution (1985;8) berkesimpulan bahwa dari 368 ayat hukum ini, hanya 228 ayat atau 3,5% yang berkenaan dengan kemasyarakatan.
Hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu: ibadah dan muamalah. Yang termasuk dalam cakupan ibadah adalah: shalat, zakat, haji, dan puasa. Adapun muamalah adalah hukum yang bertujuan membangun keselarasan hubungan manusia dengan manusia.
Dalam pandangan Abd-al-Wahhab Khallaf dan Kamil Musa cakupan muamalah adalah sebagai berikut:
a) Hukum Keluarga (al-ahwal al-syakhshiyyah), adalah hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu dalam keluarga.
b) Hukum kebendaan (ahkam madaniyyah), adalah hukum yang mengatur tukar menukar harta.
c) Hukum Jinayah (ahkam jinayah), adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan sanksi yang dilakukan oleh mukallaf.
d) Lembaga Peradilan (ahkam murafa’at), adalah hukum yang mengatur syarat-syarat hakim, saksi dan sumpah.
e) Hukum Dusturi (al-ahkam al-dusturiyyah), adalah hukum yang berhubungan dengan interaksi antara pemimpin dengan rakyat.
f) Hukum Negara (al-ahkam al-dauliyah), adalah hukum yang mengatur hubungan kenegaraan; hubungan antarnegara (regional dan internasional).
g) Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtishodiyyah), adalah hukum yang berhubungan antara kaya dan miskin dan antara individu dan kelompok.


2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah Al-Qur’an di dalam periode ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 65:
Artinya:”Maka demi Tuahnmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
As-Sunnah merupakan penjelasan dari Al-Qur’an yang mana hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an belum jelas maka sunnah-lah yang menjadi penjelasnya. Selain itu, sunnah juga sebagai kunci untuk membuka Al-Qur’an yang dapat memberi petunjuk untuk mengungkap hakikat Al-Qur’an dan mendalaminya secara mendetail.
Pengertian As-Sunnah yang paling tepat dari segi klasifikasi hadits dan sejarahnya adalah: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir)”.
Dari segi bentuknya, hadits Nabi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: perkataan, perbuatan dan ketetapan atau taqrir. Di bawah ini akan diberikan contoh dari setiap bentuk hadits.
· Contoh hadits yang berupa perkataan: hadits riwayat Muslim yang diriwayatkan Qutaibah Ibnu Sa’id, Laits, Ibnu Rumh, al-Laits, Ibnu Syihab, Abd Allah ibn Abd Allah ibn Umar, Abd Allah ibn Umar dari Rasulullah SAW. Sambil berdiri di mimbar, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kamu hendak shalat Jum’at, hendaklah mandi”
· Contoh hadits yang berupa perbuatan: hadits dhoif menurut Bukhori yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, dari Aisyah r.a.,: “Sesungguhnya Nabi SAW mencium salah seorang istrinya kemudian keluar dan melakukan shalat tanpa berwudhu lagi.”
· Contoh hadits yang berupa taqrir atau ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat pada zaman Nabi dan Nabi tidak melarangnya dan tidak pula melakukannya. Diantaranya adalah hadits riwayat Abu Daud-Shahih menurut Al-Daruquthni dari Anas ibn Malik r.a.,: “Sahabat Nabi SAW pada zaman Nabi SAW menunggu datangnya waktu shalat isya’ hingga ngantuk (kepalanya tertunduk), kemudian mereka shalat dan berwudhu terlebih dahulu.”

3. Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan ijtihad Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum Islam selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, menurut kaum Asy’ariyah dan kaum Mu’tazilah Nabi Muhammad tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nashnya yang berhubungan dengan amaliyah tentang halal dan haram. Akan tetapi menurut ulama ushul semacam Syafi’i dan Abu Yusuf Al-Hanafi membolehkan hal tersebut.
Sebagian ulama ushul ini mengatakan bahwa ijtihad Nabi Muhammad SAW itu tidak berhubungan dengan ibadah akan tetapi hanya dalam berperang. Al-Qadli Iyadi dalam kitab As-Syifa’ berpendapat bahwa Nabi SAW berijtihad tentang masalah duniawi. Contohnya: strategi perang yang dikemukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam perang Khandaq, yang mana strategi ini ditolak oleh kaum Anshar.
Ada beberapa contoh ijtihad Nabi Muhammad SAW yang dikemukan oleh Abd Al-Jalil Isa yaitu:
a) Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi Muhammad SAW menjawab: “Mereka diperlakukan seperti bapak-bapaknya”.
b) Qiblat umat Islam sebelum oleh Allah SWT adalah Bait Al-Maqdis. Umat Islam shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis selama 16-17 bulan. Shalat ke Bait Al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad SAW.
c) Abdullah ibn Ubai (tokoh munafiq) datang kepada Nabi dan meminta beliau beristighfar untuknya. Kemudian Nabi Muhammad SAW memohon kepada Allah SWT agar Abdullah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi SAW memohon kepada Allah SWT agar Abdullah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah SWT berfirman: “Kamu memohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafiq) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja)”. QS. At-Taubah; 80.
Dari beberapa contoh di atas. Para ulama berbeda pendapat. Menurut As-Syafiyyah Nabi Muhammad SAW tidak salah dalam ijtihadnya. Sedangkan Al-Jubai dan Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW bisa salah dalam berijtihad tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau sahabat.
Di antara hikmah ijtihad Rasulullah adalah:
a) Ijtihad Rasul sangat diperlukan untuk memperoleh penjelasan atau keputusan hukum mengenai suatu peristiwa dengan segera terhadap suatu hukum yang tidak ada dalam wahyu Allah.
b) Ijtihad adalah perbuatan manusia, dengan berijtihad akan menunjukkan kepada umat bahwa Rasul adalah manusia juga seperti manusia lainnya. Hanya saja tatkala ijtihad yang dilakukan oleh Rasul melenceng atau keliru maka kekeliruan tersebut langsung ditegur oleh Allah kemudian dibenarkan.
4. Ijtihad Sahabat
Selain ijtihad Nabi Muhammad SAW, ijtihad para sahabat juga menjadi landasan hukum selain Al-Qur’an dan As-Sunnah pada periode Rasulullah. Dari segi cara ijtihad diartikan sebagai metode penggalian hukum Islam. Sedangkan dari segi hasil ijtihad termasuk sumber hukum Islam.
Di antara sahabat yang melakukan ijtihad adalah Ali ibn Abi Thalib yang di utus Rasulullah SAW ke Yaman sebagai qodhi atau hakim. Selain itu, Muadz ibn Jabal juga di utus oleh Rasulullah di negeri Yaman sebagai pengajar.
Di antara ijtihad para sahabat yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW yaitu: ketika Rasul bertanya kepada Muadz ibn Jabal: “apa yang kamu perbuat apabila kamu dihadapkan pada suatu persoalan, sedangkan kamu tidak menemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah?” Muadz ibn Jabal menjawab: “Aku akan berijtihad dengan akal pikiranku”. Kemudian Rasulullah menjawab: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq.”
Selain itu, pada suatu ketika ada dua orang sahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudhu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air. Seseorang sahabat berwudhu dan shalat kembali sedangkan sahabat yang satu lagi tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah dan menceritakan pengalamannya tersebut. Kepada yang tidak berwudhu dan tidak mengulangi shalat, Nabi Muhammad SAW bersabda; “ Ashabta al-Sunnah” (Engkau mengerjakan pekerjaan sesuai dengan Sunnah). Sedangkan kepada sahabat yang berwudhu dan mengulangi shalat, Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Al-Ajra Marratain” (Engkau mendapatkan pahala dua kali).
Dari contoh ijtihad sahabat di atas, bahwa Rasulullah pun bermufakat apabila ijtihad yang dilakukan sahabat dapat dijadikan landasan hukum Islam, selama hal yang mereka ijtihad-kan itu memang tidak ditemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
C. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Tasyri’ di masa Rasulullah SAW mengalami dua kali periode yaitu periode Makkah dan periode Madinah.
2. Dengan Tasyri’ kehidupan akan tertata dengan indah.
3. Sumber Tasyri’ di masa Rasulullah ada empat yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijtihad Rasul dan Ijtihad Sahabat.
DAFTAR PUSTAKA

Dja’far, Muhammadiyah. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Ilmu
Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Roibin. 2007. Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah. Malang.
Zuhri, Muhammad. Tarjamah Al-Tasyri’ Al-Islam. Indonesia: Darul Ikhya

Read More......